09. Aisyah

968 119 1
                                    

"Terkadang perasaan bersalah yang selalu menghantui tanpa sadar membuat kita menjadi terlalu keras dalam berpikir."

—Love Math—

***

"Jadi, kita mau diskusi di mana?"

Dimas menoleh pada Aisyah yang baru saja melontarkan pertanyaan. Gadis bermata sipit itu tengah menatapnya seraya menaikkan kedua alis.

"Terserah."

Aisyah kontan mengulum senyum. Sepanjang pengetahuannya, kata terserah seharusnya hanya keluar dari mulut seorang wanita. Tetapi, Dimas sepertinya menjadi pengecualian. Sebab pemuda itu memang terkenal irit bicara. 

"Gimana kalau perpus? Aku sekalian mau kembaliin buku," tawar Aisyah yang langsung dibalas anggukan Dimas.

Keduanya kembali melanjutkan langkah menuju parkiran kampus. Tadi, mereka kebetulan berpapasan di depan pintu ruangan dosen bimbingan masing-masing. Dan sekarang, mereka berencana akan berdiskusi tentang hasil bimbingan keduanya. Sesuai janji Dimas kemarin pada gadis yang kini mengenakan gamis cokelat tersebut.

Langkah Aisyah spontan melambat saat rasa sakit tiba-tiba menyerang kepalanya. Dimas yang menyadari kekosongan di sebelahnya langsung menoleh ke belakang dan menemukan Aisyah tengah terpejam sembari memegang kepala.

"Kamu kenapa?" Dimas bertanya saat sudah berada di hadapan gadis itu.

Aisyah terlihat mengerjapkan matanya seraya menggeleng-gelengkan kepala berusaha mempertahankan kesadarannya yang sedikit terenggut.

"Syah?" Panggilan Dimas kembali terdengar.

"Aku gak pa-pa, Mas," jawabnya saat rasa sakit itu perlahan mengendur.

Dimas menatap khawatir gadis itu. Wajahnya yang terlihat pucat membuat ia yakin bahwa Aisyah sedang sakit.

"Kita batalin aja diskusinya hari ini. Aku anter kamu pulang." Keputusan mendadak Dimas membuat Aisyah menatapnya bingung.

"Loh, kenapa? Aku udah gak pa-pa, Mas. Kita diskusi hari ini aja ya? Lebih cepat kan lebih baik," bujuk Aisyah mengundang desahan Dimas.

"Kamu sakit. Wajah kamu pucet."

Aisyah menggeleng. "Aku udah biasa gini, kok. Mungkin karena tadi belum sarapan."

"Ya, udah. Kalau gitu kita makan dulu baru ke perpus."

Aisyah hanya mengangguk pasrah. Mengikuti langkah Dimas yang membawanya ke sebuah warung makan yang terletak di depan kampus.

"Kenapa gak di kantin aja sih?" protes Aisyah pada Dimas yang baru kembali membawa satu piring nasi lengkap dengan lauk ayam bumbu serta dua botol air mineral.

"Di sana rame." Dimas menjawab sebelum menenggak minumannya hingga tersisa setengah.

Aisyah memilih makan dalam diam. Tidak membutuhkan waktu lama, sepiring nasi dengan lauk ayam tersebut tandas menyisakan tulang-tulang kecil dengan daging yang menempel di sela-selanya.

Sementara itu, Dimas tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah kenapa, wajah sendu yang ditunjukkan oleh gadis bernama Yasmin tadi begitu mengganggunya. Mungkin karena rasa bersalah yang masih menghinggapinya. Ia sungguh tidak menduga bahwa apa yang dilakukannya tadi malam akan berakhir menyakiti hati gadis itu. Saat ini, ia benar-benar dilanda kebingungan sebab belum pernah menghadapi situasi yang tengah ia rasakan kini.

Love Math✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang