25. Temu

812 110 3
                                    

"Jatuh cinta tidak boleh melibatkan keegoisan. Saat kamu melabuhkan rasa kepada seseorang, maka kamu tidak boleh menuntut hatinya untuk menyambut perasaanmu."

—Love Math—

***

Mata Yasmin menatap deretan buku yang berjejer di rak berbahan kayu. Tangannya terangkat berniat mengambil salah satu judul buku yang menarik perhatiannya. Letak buku bersampul merah muda itu berada di atas jangkauannya. Sehingga membuat kaki-kaki pendek gadis itu berjinjit bahkan nyaris melompat untuk menggapainya.

Merasa usahanya sia-sia, Yasmin menyerah dan hendak berbalik mencari buku yang lain sebelum netranya menangkap sebuah tangan besar melewati kepalanya untuk mencapai buku yang hendak ia ambil tadi. Aroma tubuh yang familier menusuk ke dalam indera penciumannya. Tanpa sadar, gadis kesayangan papa itu memejamkan kedua mata. Menikmati kehangatan yang dihantarkan oleh tubuh besar yang melingkupi punggung mungilnya tersebut.

"Deham!"

Suara dehaman itu membuat mata Yasmin kontan terbuka. Kehangatan yang tadi membelainya telah hilang diganti oleh kehampaan saat tubuh besar itu beringsut mundur. Memberinya celah untuk berbalik. Hingga membuatnya terpaksa harus melihat seseorang yang paling malas untuk ia temui saat ini.

"Bang Dimas ngapain di sini?" tanyanya dengan nada ketus.

"Seharusnya aku yang tanya, ngapain kamu di sini?"

"Yasmin lagi cari itu," jawabnya sambil menunjuk buku yang berada di tangan Dimas.

"Sendirian?"

"Memangnya dengan siapa lagi? Dira lagi sibuk."

Tangan Yasmin terulur hendak mengambil buku yang masih berada di genggaman Dimas. Namun, di luar dugaan. Pemuda itu malah meletakkannya kembali pada rak semula lalu mencapai lengannya. "Ikut aku sebentar!" titahnya kemudian.

"Eh, eh. Bang Dimas mau bawa Yasmin ke mana?"

Tanpa menjawab pertanyaan Yasmin, Dimas langsung menyeret lengan yang terbalut sweater merah muda itu keluar. Karena tak ingin menjadi bahan tontonan para pengunjung perpustakaan, Yasmin memilih pasrah saat langkahnya dituntun oleh pemuda yang sudah berjalan mendahuluinya tersebut.

"Benar kamu mau kuliah di Bandung?" Mengacuhkan ekspresi kesal Yasmin, Dimas langsung mengutarakan pertanyaan─yang menggerogoti pikirannya sejak semalam─saat  mereka tiba di parkiran pepustakan.

Yasmin tak menjawab. Matanya beralih memperhatikan seorang pria paruh baya dengan jaket berwarna oranye yang sibuk memberikan instruksi kepada seorang wanita muda yang menunggangi matik hitam. Melambaikan kedua telapak tangannya ke belakang sembari mengucapkan kata mundur secara berulang-ulang.

Tanpa sadar Yasmin medesah. Perkataan pria paruh baya itu mengingatkan posisi dirinya yang harus mundur dari perjuangannya untuk mendapatkan Dimas. Melepaskan sosok yang sudah ia mimpikan selama dua tahun ini. Padahal Yasmin pikir, dengan kedekatan mereka selama beberapa bulan ini, hubungan mereka akan mengalami kemajuan. Tetapi, kenyataanya tidak. Dimas memiliki pilihannya sendiri.

Sejak awal, Dimas memang tidak pernah mengutarakan perasaannya. Pemuda itu begitu tertutup jika bersangkutaan soal hati. Mungkin selama ini, perhatian yang  Dimas berikan kepadanya hanya bentuk kasih sayang terhadap seorang adik. Ya, Dimas hanya menganggapnya sebagai adik. Sama halnya seperti Dira. Yasmin saja yang terlalu percaya diri hingga menyalahartikan kebaikan Dimas sebagai bentuk rasa suka.

Love Math✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang