17. Sidang

720 110 0
                                    

"Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan pasti akan berbuah hasil meskipun hanya setitik."

—Love Math—

***

Dimas menatap bundelan kertas skripsi berukuran tebal yang terletak di atas pangkuan. Membuka lantas kembali menutupnya. Sekali-kali, mata pemuda itu melirik arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan kanannya.

Pemuda yang sudah rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitamnya itu beberapa saat lagi akan melakukan sidang. Setelah beberapa lama Dimas menghabiskan waktu berkutat dengan urusan skripsinya, akhirnya penantian itu datang juga. Ini semua berkat kerja kerasnya yang seolah tak kenal lelah agar bisa mempercepat masa kuliahnya. Selain itu, dukungan dari dosen bimbingan dan kedua orang tuanya juga membuat semangatnya semakin terpacu.

Pintu di hadapan Dimas terbuka. Seseorang keluar dari sana dengan raut wajah lega. Berbanding terbalik dengan keadaannya yang kini berkeringat dingin.

"Dimas Anggara!" Seruan yang berasal dari dalam mengundangnya bangkit lantas memasuki ruangan yang terasa dipenuhi aura ketegangan itu. Tiga penguji terlihat duduk berjejer di sana. Membuat nyali Dimas yang sempat bangkit kembali menciut.

Lebih kurang selama dua jam Dimas menghabiskan waktu di dalam sana. Kini, kelegaan dapat ia rasakan. Perjuangannya selama hampir empat tahun akhirnya membuahkan hasil.

Di luar, bunda dan ayah tampak menunggu. Keduanya sontak beranjak dari tempat duduk saat melihat kedatangan Dimas.

"Gimana, Bang? Sukses?" berondong bunda penasaran.

Melihat senyum semringah yang Dimas tampilkan tentu membuat kedua orang tua itu sudah mengetahui jawabannya. Mereka sangat percaya dengan kemampuan sang putra.

"Selamat ya, Nak." Ika bergerak memeluk tubuh Dimas dengan perasaan haru dan bangga. Sementara Tio hanya mengusap pundaknya. "Anak Bunda memang hebat," puji Ika setelah melepaskan pelukannya.

"Ini juga berkat doa Bunda sama Ayah," sanggah Dimas seraya menatap teduh kedua orang tuanya. "Makasih ya, Bun, Yah," ucapnya tulus.

"Tapi tetap kamu yang usaha, Bang. Lagi pula mendoakan kesuksesan anak-anak adalah kewajiban kami sebagai orang tua. Iya kan, Yah?" tanya Ika pada sang suami.

Tio mengangguk. "Iya, bunda bener," jawab pria itu lantas menggumamkan selamat.

Dimas merogoh ponsel yang berada di saku celana. Saat membukanya, ia menemukan banyak pesan masuk memenuhi layar benda 5 inci tersebut. Salah satu pesan yang ia terima berasal dari Aisyah. Ia segera menekan room chat gadis itu.

Aisyah

Selamat ya, Mas. Aku turut seneng atas kelulusan kamu. Tapi sebenarnya aku bakal lebih seneng lagi kalau kita bisa lulus bareng. Sayangnya, keberuntungan lebih berpihak ke kamu.

Dimas tersenyum simpul melihat pesan yang dikirimkan oleh Aisyah dua menit yang lalu. Padahal ia belum mengatakan apa pun tentang kelulusannya pada sidang tadi.  Tapi gadis itu sudah memprediksi lebih dulu.

"Mau makan dulu atau langsung pulang?"

Suara bunda menginterupsi kegiatan Dimas. Ditaruhnya benda elektronik tersebut pada saku celana bahannya lantas menjawab, "Pulang aja, Bun. Abang capek banget. Kita bisa makan di rumah, kan?"

Ika mengangguk sembari tersenyum. Dilingkarinya lengan Dimas lantas menyusul sang suami yang sudah berjalan terlebih dahulu di depan.

Love Math✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang