08. Marah?

1K 128 0
                                    

Perkara hati memang cukup pelik. Sesuatu yang mungkin terdengar sederhana, justru malah berakhir rumit.

—Love Math—

***

Netra Yasmin menatap nyalang langit-langit kamar. Tangannya bergerak mengusap perut yang sedari tadi protes minta asupan.  Sekilas, ia menoleh ke arah Dira yang mendengkur pulas. Yasmin mendengus. Saking terlalu antusias bertemu Dimas dengan dalih belajar bersama, ia jadi mengurangi porsi makannya saat santap malam tadi.

Tahu bahwa ia takkan bisa tidur sebelum perutnya terisi, Yasmin segera beranjak untuk menuju dapur.

Cahaya temaram yang berasal dari lampu ruang tengah menjadi alat penerangan Yasmin. Ia melangkahkan kakinya dengan mengendap-endap. Mencegah siapa pun untuk terjaga. Ia malu jika nanti ketahuan bangun tengah malam dengan alasan lapar.

Yasmin bernapas lega saat kakinya menapaki lantai dapur. Ia berjalan menuju lemari pendingin setelah sebelumnya menekan sakelar yang terletak di dekat pintu. Matanya berbinar saat melihat kue brownies buatan Bunda yang masih utuh belum terpotong. Tanpa berpikir panjang, tangannya bergerak mengambil kue tersebut lalu membawanya ke meja makan.

Terlalu asyik menikmati santapannya, Yasmin sampai tak sadar saat seseorang memasuki dapur. Hingga sebuah dehaman membuat gerakan mengunyahnya terhenti. Matanya memelotot menemukan Dimas berdiri di hadapannya sambil menenteng gelas berisi air.

Demi Tuhan, Yasmin rasanya ingin menenggelamkan diri hingga ke dasar lautan detik itu juga. Napasnya tertahan saat Dimas menarik kursi lalu duduk di hadapannya.

"Lanjut aja," ujar pemuda itu santai sembari meneguk minuman. Melihat Yasmin yang tak melanjutkan makan, Dimas berkomentar. "Kenapa? Makan aja. Gak ada yang minta, kok."

Yasmin masih bergeming. Dalam hati ia terus merapalkan doa agar Dimas segera beranjak dari sana. Sebenarnya, dia ingin mengusir pemuda itu secara langsung. Karena sampai Dira berubah menjadi Chelsea Island sekali pun, dia tidak mungkin melanjutkan acara makannya. Ia masih dirundung malu sebab ketahuan menyelinap ke dapur di tengah malam seperti ini. Namun, alih-alih melakukannya, Yasmin hanya bisa memaksakan senyum. Ingat, Yasmin. Kamu di sini hanya menumpang. Batinnya mengingatkan.

"Yasmin udah kenyang," dustanya seiiring rutukan yang terus-menerus ia lontarkan di dalam hati.

Dimas mengernyit. Ia yakin seratus persen bahwa gadis di hadapannya ini berbohong. Terlihat dari ekspresinya yang sedikit menyembunyikan kekesalan. Ia terkekeh dalam hati. Gadis ini bukannya sudah kenyang, tapi malu sebab kehadirannya yang menganggu. Tetapi, entah kenapa tubuhnya terasa berat untuk sekadar beranjak dari sana.

"Kalau masih laper, makan aja. Nanti orang tua kamu nyalahin bunda lagi karena nelantarin anaknya sampek kelaperan."

Yasmin terhenyak. Seperti ada pisau tak kasat mata yang menikam dadanya. Dimas begitu enteng mengatakan kata-kata yang jelas menyinggungnya. Dengan gerakan kasar, ia mengangkat tempat berisi brownies tersebut lalu menyimpannya kembali ke lemari pendingin. Setelah itu, tanpa sepatah kata pun, tubuhnya bergerak meninggalkan Dimas yang kini tertegun di tempatnya.

***

"Ayah makan brownies Bunda di kulkas ya?"

Pertanyaan dari Bunda yang menyapa telinga Yasmin membuatnya terkesiap. Ia baru sadar kalau brownies yang dimakannya tadi malam masih utuh. Ia sudah akan mengangkat suara sebelum suara lain mendahuluinya.

"Abang yang makan, Bun." Yasmin segera mengalihkan tatapannya pada Dimas yang tengah mengunyah nasi gorengnya dengan santai.

Love Math✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang