Get out

851 183 36
                                    

Katie menatap Ginny dengan manik yang memerah. Hidungnya juga sama memerahnya menunjukkan sudah seberapa lama dirinya menangis.

"Apa kau yakin memang seperti itu?" Tanya Ginny sekali lagi untuk memastikan.

"Aku mendengarnya, Ginny. Wendy, perempuan yang aku ceritakan tadi mengatakan hal itu padaku." Jawab Katie dengan suara serak. Ginny meraih tangan Katie dan menggenggamnya erat.

"Aku harus bagaimana?"

"Kau sudah membicarakannya dengan Justin?"

"Dia tak mengatakan hal yang ingin aku ketahui." Jawab Katie murung. "Aku sengaja tak menjelaskan perihal gambar yang aku lihat di lorong kampus. Karena aku ingin semua kebenaran. Tetapi dia masih menyembunyikannya dariku."

"Kenapa dia harus membunuh temannya, Ginny?" Ujar Katie yang kembali membawa pembahasan Robert. "Kenapa harus membunuhnya hanya karena ia berbicara denganku?"

"Kenapa ia harus menempatkan Sam dan Diana di sekitaranku? Apa benar yang Wendy katakan, jika Justin adalah mafia?"

"Ssstt, jangan menangis lagi. Apa kau tidak lelah?" sela Ginny dengan tangan lainnya yang bebas menghapus air mata yang kembali menuruni pipi Katie. "Sejak aku datang, kau terus menangis Katie."

"Karena aku tak tahu lagi harus bagaimana, Ginny." Jawab Katie masih dengan isakan dan suara pelannya. "Aku mencintai Justin. Tapi yang saat ini yang aku rasakan hanya perasaan takut. Aku takut dengan Justin."

"Kau bilang dia tak berhenti berkata jika dia mencintaimu, kau tak perlu merasa takut. Aku yakin Justin tak akan pernah menyakitimu." Ujar Ginny berusaha menenangkan.

"Justru karena itu aku merasa lebih takut. Kalimat Justin terdengar menyeramkan." Katie menghentikan tangisannya. "Ia seperti bersumpah tak akan pernah melepaskanku dari cengkramannya kecuali jika aku mati."

"Hey, jangan berbicara begitu. Percaya padaku, dia tak akan pernah memikirkan opsi untuk membunuhmu."

"Tidak ada yang tak mungkin saat dia dengan tenangnya menyaksikan pembakaran manusia di depan matanya." Balas Katie yang kini terlihat sudah tak lagi menangis. "Jaminan apa yang bisa aku dapatkan jika dia tak akan melukaiku juga?"

Denting pesan yang masuk beruntun menghentikan gerakan rahang si perempuan.

Ginny yang tak mampu menahan rasa penasarannya menyambar ponsel milik Katie yang diletakkan sembarang di atas ranjang, saat ini keduanya memang tengah duduk di salah satu kamar di kediaman Justin dan Katie.

"Nomor tak di kenal." Ujar Ginny yang membuka layar kunci ponsel milik Katie.

"What the—"

Katie menarik ponsel miliknya dan menunjukkan kekagetan yang sama seperti Ginny.

"Apa yang harus kulakukan?" Tanya Katie yang sudah merasakan gemetar takut di seluruh tubuhnya. "Bagaimana ini?"

"Lapor polisi." Balas Ginnya menunjukkan takut yang sama. "Mu-mungkin polisi bisa membantu."

"Ini Wendy." Ujar Katie lagi. "Perempuan yang aku ceritakan.." lanjut Katie dengan gemetar. Kedua tangannya bahkan sudah mencengkram erat salah satu lengan Ginny, berusaha menyalurkan rasa takut yang melahapnya tanpa sisa.

"Bagaimana mungkin?" Balas Ginny tak percaya. "Tak mungkin Justin sampai melukai pere—"

"Bukankah sudah kubilang, tak ada jaminan dia tak akan melukai yang lain." Potong Katie cepat. Dirinya amat takut— juga panik. Bagaimana tidak jika gambar yang baru saja dikirimkan ke ponselnya adalah gambar dimana Wendy duduk lemas diatas kursi dengan beberapa luka di wajah dan tubuhnya. Menunjukkan jika perempuan yang kemarin mengobrol dengannya itu baru saja dipukuli.

end | The Day ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang