5.

3.1K 413 14
                                    

Seulgi POV.

Gue merasakan cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar. Gue perlahan-lahan membuka mata kemudian bangun untuk duduk sambil bersandar di tempat tidur.

Gue memegang kepala sendiri karena merasakan rasa pusing yang masih terasa.

Mata gue melihat sekeliling dan tersadar ini bukan kamar gue.

Gue meraba saku celana, untungnya ponsel gue masih ada di sana. Gue membuka ponsel dan melihat ada sembilan puluh sembilan panggilan tak terjawab dari Ayah, Bunda, dan juga Yeri.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan memperlihatkan Irene dengan membawa nampan berisi makanan di tangannya.

“Masih pusing, Seul?”

“Lumayan.”

Irene memberikan nampannya ke gue.

“Sarapan dulu, ya. Aku udah buatin bubur buat kamu.”

“Makasih.”

Gue pun langsung melahap bubur buatan Irene. Kebetulan perut gue sudah minta diisi.

Rasanya tidak terlalu buruk, masih bisa dibilang enak. Bahkan gue menghabiskan sampai bersih.

Irene mengambil beberapa obat luka dan dia duduk di depan gue.

“Aku obatin lagi ya lukanya.”

Gue bingung. “Lagi?”

“Semalam udah aku obatin pas kamu tidur. Maaf, ya.”

“Kenapa minta maaf? Justru aku yang harus bilang makasih ke kamu.”

Irene tersenyum kemudian mengambil kapas dan siap untuk mengobati luka gue.

Selama Irene fokus dengan luka gue, gue hanya bisa diam dan merasakan detak jantung yang berdegup cepat. Bahkan sesekali gue merem supaya pandangan gue tidak kemana-mana.

“Maafin soal temen aku ya, Seul.”

“Aku kira pacar kamu.”

“Se-sebenaenya dia calon tunanganku.”

JLEB.

Kenapa dada gue sakit?

Sebisa mungkin gue tidak menunjukkan ekspresi apapun di depan Irene. Walaupun aslinya gue lumayan nyesek mendengarnya.

Di satu sisi gue merasa bersalah karena sudah merusak momen mereka semalam.

Gue sedikit menunduk. “Maaf ... Karena aku, momen semalam kalian jadi hancur.”

Irene mengangkat dagu gue dan menatap mata gue. “Justru aku mau bilang makasih sama kamu.”

Gue bingung.

“Kenapa?”

“Aku gak mau bertunangan dengannya. Ini semua karena orang tua kita yang ingin kerja sama masalah bisnis. Jadinya aku mau tidak mau harus dijodohkan dengan pria itu.”

“Kenapa kamu gak mau? Bukankah dia pria yang mapan?”

“Memang mapan, tapi aku tau sifat aslinya.”

Gue diam karena tidak tahu harus menjawab apa. Gue juga tidak mau tahu lebih lanjut karena itu urusan pribadi Irene.

Tiba-tiba dering ponsel gue berbunyi. Gue melihat nomor asing lagi di layar ponsel. Gue mengangkat panggilan itu.

“Halo?”

“...”

“Dengan siapa saya berbicara?”

Crush | seulrene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang