Semesta
Urusan menurunkan adrenalin setelah naik gunung kupercayakan sama coding. Mengandalkan koneksi internet yang kadang naik turun, sejak minggu lalu aku membantu memprogram laman website baru Taman Nasional Kerinci Seblat.
Mengetikkan sederet bahasa perangkat lunak menjadi pengalihan efektif setelah bergaul berhari-hari dengan alam, atau setelah penat dalam misi pencarian minim harapan seperti kemarin. Dalam dunia coding cuma ada aku dan bahasa tanpa suara di layar laptop. Transisi ini pas sekali. Aku enggak perlu banyak bacot, orang-orang sekitarku sudah paham waktuku enggak bisa diganggu sekalinya berhadapan sama laptop.
Namun, kali ini enggak hanya ada aku di ruang tanpa suara ini. Ada satu orang lagi sedang mencoba melumpuhkan bukan cuma kekuatan jemariku, tetapi juga kemampuanku mengosongkan pikiran. Kalau bukan karena telepon Aji, duniaku pasti enggak seporak-poranda sekarang.
Peduli setan kalau Adara menghilang. Lima tahun. Waktu selama itu seharusnya cukup memutus semua hubungan di antara kami. Memangnya siapa aku bagi Adara sampai Aji menghubungiku? Setelah ditemukan nanti, Adara pasti enggak akan suka melihatku di sana. Apa pun hubungan di masa lalu yang pernah mengikat kami, semua itu sudah berakhir.
Kursor di layar berkedap kedip di halaman kosong. Sekarang ganti halaman kosong ini mengejekku karena enggak mampu mengetikkan satu saja perintah dari tadi. Satu pesan masuk ke ponselku. Nama salah satu staf tim tech di Tamu Alam, muncul paling atas.
Website Ekspedisi Atap Tanah Jawa crash diserbu komentar penggemarnya Adara. Apps ikut crash. Anak-anak udah beresin, tolong cek ya, Ta.
Tamu Alam adalah aplikasi bentukanku dan Aji dulu. Lewat Tamu Alam, kami menyediakan tempat dan jaringan komunikasi bagi para pendaki seluruh negeri. Mereka saling bertukar pengalaman dan mengatur jadwal pendakian bersama di banyak gunung di Indonesia. Walaupun sebagai salah satu pendiri, statusku di perusahaan enggak aktif. Aku sudah lama menyerahkan tugas-tugasku dan hanya sesekali ikut campur kalau diminta seperti sekarang.
Namun, seluruh indraku seolah lumpuh setelah mendengar nama Adara malam ini. Aku enggak bisa memikirkan apa pun.
"Mau ke mana kau?" sergah Gomgom yang sedang beristirahat di sampingku.
"Sebat." Aku bisa memahami kebingungan di wajah Gomgom. Rokok dan korek api hanya kukeluarkan ketika aku dalam tekanan atau butuh waktu untuk berpikir. Probabilitas keduanya sama jarangnya.
"Ada masalah kau rupanya," tebak Gomgom. Kulemparkan tatapan garang padanya.
"Bukan urusanmu," ujarku cepat lalu buru-buru pergi dari ruang istirahat petugas di balai taman nasional. Sebagian besar petugas SAR telah pergi. Hanya tinggal Pak Rustam masih melayani beberapa pertanyaan wartawan. Beberapa petugas Resor Kerinci Utara juga berjaga, walaupun jalur pendakian masih ditutup sampai tiga hari ke depan.
Aku memilih menyepi di belakang bangunan resor. Kukeluarkan bungkus rokok kretek lusuh dari dalam kantong celana. Aku tahu rasa tembakau di dalamnya sudah sepah, enggak ada enak-enaknya lagi diisap sampai paru. Namun, tetap saja kunyalakan dan kunikmati seolah itu bisa mengalihkan pikiranku sendiri. Nyatanya aku salah besar.
"Harusnyo mereka wawancara kau, Semesta." Pak Rustam tiba-tiba muncul dan ikut duduk di sampingku. "Kau yang ambil jasad pendaki itu."
"Aku malas, Pak," kataku tanpa melihatnya. Sudah setahun lebih sejak kali pertama perjumpaanku dengan Pak Rustam. Dia adalah orang yang menawariku menjadi relawan di Kerinci sejak kepindahanku kemari.
"Kuberi kau rokok baru saja. Jangan iisap rokok lama."
Aku menyesapnya dalam-dalam sebelum menariknya dari mulutku dan kupandangi sedetik lebih lama. "Enggak perlu, Pak. Barang lama simpan banyak kenangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Adara (TAMAT)
RomanceSemesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya dengan masa lalu, tetapi juga dengan kenangan lama mereka. Akhirnya ia tahu bahwa waktu yang memisahk...