51. Batin Menggema

630 62 1
                                    

Semesta

Aku tersadar di rumah sakit tiga hari kemudian. Banda ada di ranjang sampingku, satu lengannya patah. Sementara aku mengalami gegar otak ringan setelah kepalaku terbentur batang pohon. Kami berdua mengalami hipotermia parah setelah terperangkap dalam hujan selama berjam-jam.

Pertolongan enggak bisa langsung diberikan begitu kami jatuh. Hujan terus turun menyulitkan medan. Aji dan seluruh tim harus menunggu hingga tengah malam untuk kembali mencoba turun ke bawah. Ia menemukan kami sudah enggak sadarkan diri seraya duduk berdampingan.

Pencarian mandiri otomatis kembali dihentikan. Aku memang ceroboh sudah membuat semua tim dalam bahaya. Namun, seperti yang kalian tahu, aku juga orang paling egois. Aku menolak menyerah. Setelah pulih dan cuaca di Argopuro sedikit membaik, aku kembali membuka pencarian.

Banyak relawan datang membantu. Pencarian berlangsung selama hampir tiga minggu. Semua tempat di dekat tiga puncak tertinggi Gunung Argopuro sudah kami sisir. Segala upaya telah coba kami lakukan. Namun, lagi-lagi jejak dan keberadaan Adara gagal ditemukan.

Argopuro seperti memeluknya hidup-hidup. Adara enggak bisa ditemukan.

Aku enggak bisa menerimanya. Begitu pula dengan orang-orang terdekat Adara. Banda jadi paling kehilangan sosoknya. Adara lebih dari seorang kakak baginya. Ia sudah seperti ibunya. Mungkin karena itulah Adara juga sudah mempersiapkan semuanya buat Banda jauh-jauh hari.

Setahun sebelum Adara pergi menyepi ke Manang, ia mengalihkan seluruh aset atas nama Banda. Mika membantunya mengurus administrasi, dan menjadikannya sebagai ahli waris. Namun, tetap saja enggak ada harta di dunia ini yang bisa menggantikan kehilangan keluarga.

Di mataku, Adara seolah sudah tahu hari ini akan datang. Bahwa waktunya mungkin enggak akan lama di dunia.

Hingga detik ini enggak ada yang tahu alasan Adara meninggalkan timnya di Danau Taman Hidup. Begitu pula alasan kenapa ia sampai kembali pergi jauh sekali ke Puncak Rengganis. Beberapa mencoba mengaitkannya dengan legenda Argopuro dan hal-hal mistis. Bahwa mungkin, Adara dijadikan dayang untuk melayani sang dewi penunggu gunung. Aku enggak peduli. Biarlah mereka berteori. Adara akan selalu hidup dalam hatiku.

Enggak ada yang menyalahkannya. Aji yakin Adara punya alasan, walaupun alasan itu enggak masuk akal. Satu hal pasti, Adara sepertinya sudah berniat melakukannya sejak awal. Kenapa ia melakukannya? Biarlah jawabannya ikut terkubur dalam pelukan Argopuro.

Kami saling bertaut dalam hati. Jalinan kami mungkin sudah hampir terlepas, menyisakan satu jalinan yang saling menautkan hati kami seperti akar menghujam jauh dalam tanah. Hanya satu jalinan, cukup itu untuk menautkan kami dalam keabadian.

Setiap tahun di bulan Februari, aku, Banda, Aji, dan orang-orang terdekat Adara selalu naik ke Argopuro. Itu adalah satu-satunya cara kami buat mengenang Adara. Di mana pun dia bersemayam, biarlah dia tenang dalam dekapan bumi.

Lima tahun setelah peristiwa itu, kami masih kembali. Kali ini sebuah plakat batu dipasang di Danau Taman Hidup sebagai peringatan. Seenggaknya, ada tempat untuk mengenang Adara ketika kami merindukannya.

Adara bersemayam abadi dalam pelukan Gunung Argopuro.

Perjalananku bersama Adara memang singkat. Lebih banyak waktu terbuang untuk saling menanti dan mencari. Namun, dalam perjalanan singkat itu hati kami enggak pernah terpisah.

Seperti suara menyentuh udara rimba. Sebentar, tetapi menggema. Begitu pula dengan kita, Adara. Pertemuan kita harus singkat, agar mampu membuat perjalanan batin kita menggema abadi. 

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang