24. Seharusnya

291 53 0
                                    


Semesta

Banda bersedekap di bawah pohon cemara hutan di salah satu turunan bukit menuju tanah lapang di Cemoro Limo. Jas hujannya masih melekat di badan walaupun hujan sudah berhenti, menyisakan rintik-rintik kecil. Ia menatap tenda warna-warni berjejer tanpa pola di bawahnya.

Berbagai relawan dari banyak organisasi pecinta alam berbaur dengan orang-orang Basarnas, aparat, dan masyarakat setempat. Kalau saja enggak ada suasana genting menggantung di udara, ini pasti sudah dikira acara kemping ceria Sabtu Minggu.

Banda hanya sebentar melirikku lalu kembali khusyuk merenungi pemandangan di bawahnya. SRU kami baru saja kembali. Sama sekali enggak ada kesempatan naik ke atas memeriksa area air terjun. Hujan dan hari makin gelap bikin enggak memungkinkan lagi melakukan penyisiran.

"Baru balik, Mas?"

Aku mengangguk enggak pakai suara. Kulihat rekan SRU-nya sudah bergabung dengan lainnya di tenda dapur umum untuk antri air panas demi segelas kopi hangat.

"Ketemu sesuatu?"

"Enggak ada. Kamu?"

"Susah buat naik ke atas. Tali juga enggak nyampe. Hujan tambah parah, akhirnya ditarik."

Kurang ajarnya, hujan badai di puncak dan air terjun enggak ikut menyapu area kemah di Cemoro Limo. Sekilas aku enggak menemukan sosok Ical. Kalau enggak salah dengar lewat komunikasi HT, dia sudah berangkat ke Sabana Lonceng.

Susah payah Banda menembus jas hujannya dan mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Gerimis begini, dia masih gigih menyalakan api pemantik untuk sumbu rokoknya. Kira-kira Adara tahu enggak kalau adiknya rajin merokok? Mengingat tabiat Adara sepertinya enggak. Kalau dia tahu, kemungkinan Banda selamat akan kecil.

Daguku menunjuk teman-teman Mapalanya di tenda dapur umum. "Udah lama masuk Mapala?"

"Kamu sama Mas Aji dulu juga ikut Mapala yang sama, kan?" tanya Banda balik.

Aku sering lupa kalau Banda sekarang adalah juniorku. Universitas kami sama, hanya jurusannya beda. Dia juga ikut organisasi Mapala yang dulu aku dan Aji ikuti.

"Aku sering bolos, kok," sahut Banda sebelum aku sempat balas.

"Adara yang meracuni kamu?"

Banda tergelak mengejek. Dimainkannya sepatu bootnya di lumpur bawah kakinya. "Aku ingin ikut sendiri. Awalnya karena ingin nemenin Mbak. Kasihan aja lihat dia sering naik gunung sendirian."

Baik dulu maupun sekarang, Banda selalu jadi lelaki dalam keluarga. "Ada Aji, kan," sahutku enggak pakai pikir panjang.

Banda menatapku keberatan. "Mbak enggak selemah itu sampai harus bergantung sama Mas Aji terus."

"Kalau begitu dia juga enggak selemah itu juga sampai harus kamu jagain," timpalku.

Aku bisa mengerti keberatannya. Adara selalu mandiri. Dia enggak pernah bergantung kepada siapa pun. Aku masih ingat perkataanku tujuh tahun lalu ketika Aji meminta izinku mendaki bersama Adara setelah kami enggak lagi bersama.

"Aku akan mendaki ke Sindoro sama Adara," kata Aji waktu itu.

"Terus?"

"Kupikir kamu mesti tahu. Aku bakal jaga dia."

Senyum sinis lolos dari bibir. "Bukan urusanku lagi."

Enggak ada satu patah pun keluar dari mulut Aji. Dia hanya berlalu, tetapi sebelum langkahnya jauh, bibirku kelepasan memanggil namanya.

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang