32. Dua Pasangan

267 44 0
                                    

Adara

Waktu terasa berhenti. Orang-orang berjalan dengan gerakan lambat sementara aku berdiri di depan pintu keluar Stasiun Gubeng. Pasti ini juga dirasakan Semesta ketika menantiku keluar dari pintu stasiun yang sama sepulangnya dari Gunung Prau. Ia pasti marah, khawatir sekaligus frustasi di saat bersamaan ketika melihatku berjalan pincang menghampirinya.

Aku tidak bisa memejamkan mata sedetik pun begitu mendengar kabar Gunung Merapi erupsi. Semesta mendaki bersama Aji ke sana. Aku tidak tahu persisnya mereka sudah selesai mendaki atau belum. Karena ia hanya sekali menghubungiku ketika akan berangkat ke Yogyakarta. Kedua ponsel mereka tidak aktif setelahnya.

Ada dua kemungkinan. Mereka sudah di basecamp, tetapi belum menyalakan ponselnya. Atau mereka masih di atas gunung. Aku memohon pada Tuhan untuk melindungi Semesta malam itu. Aku akan melakukan apa pun keinginannya asalkan dia selamat. Ada banyak hal yang ingin kukatakan kepadanya. Termasuk minta maaf soal kebodohanku tempo hari.

Kabar dari mereka datang esok paginya. Aji menghubungi Mika dan mengatakan bahwa mereka sudah dalam perjalanan turun ketika Merapi mengeluarkan awan panas. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan kembali ke Jogja dan akan naik kereta malam menuju Surabaya.

Hatiku terasa sakit. Semarah itu Semesta kepadaku sampai dia sendiri tidak mau menghubungiku. Sudah pasti harga dirinya terluka. Aku meragukannya, memintanya mempertimbangkan ulang soal pernikahan kami. Padahal sekadar membawa kata pernikahan ke tengah hubungan ini butuh keberanian besar bagi seorang lelaki.

Kereta mereka sudah datang sejak lima belas menit lalu, tetapi sosok Semesta belum juga terlihat di mana pun. Mika ada di sampingku, sama khawatirnya denganku. Ia meremas lenganku seraya menjulurkan lehernya mencari-cari di antara wajah penumpang lainnya.

Dua sosok tinggi, berjalan gontai dengan tas carrier besar di punggung masing-masing. Gurat kelelahan tercetak jelas di wajah mereka. Aku buru-buru menyingkirkan tangan Mika dari lengan dan berlari menyongsong Semesta. Tubuhku bertubrukan dengan beberapa orang lain. Mereka berseru dan mengutuk, aku tidak peduli. Hanya ada satu hal yang kuinginkan sekarang, memeluk Semesta, merasakan kehadirannya, demi meyakinkan diriku sendiri bahwa ia selamat tidak kurang satu apa pun.

Aku membenamkan wajahku di dadanya dan menyelipkan tangan di ruang sempit antara punggung dan tas untuk memeluknya. Isakanku teredam, tangan Semesta terangkat untuk membelai punggungku dan mengecup puncak kepalaku. Untuk merasakan kembali kecupannya itu, aku harus melalui neraka.

"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanyaku memperhatikan tubuhnya dari atas sampai bawah. Pandanganku kembali kabur karena air mata. Sebuah plester luka kecil membalut dahinya, dan aku menemukan sedikit luka lecet sikunya.

"Ini kenapa?" Tangan sudah terangkat untuk meraih luka di dahi Semesta, tetapi dia lebih dulu menghentikan tanganku di udara.

"Kepeleset waktu turun." Jemari Semesta meraih pipi dan kembali menghapus air mataku. "Aku enggak apa-apa, Adara."

"Tapi aku khawatir banget setelah dengar Merapi erupsi. Kupikir ... kupikir ...." Aku tidak mampu menyelesaikan kata-kataku.

Semesta malah tergelak. "Aku sudah dalam perjalanan turun. Kami baru dengar kabar itu begitu sama basecamp."

"Maaf," ucapku terisak. "maafin aku enggak bisa jadi wanita yang kamu mau." Semesta tidak menjawab dan aku kembali menyemburkan kata-kata dari mulutku. "Aku takut banget terjadi apa-apa sama kamu. Aku takut banget kehilangan kamu, kupikir aku enggak akan punya kesempatan bilang ini ke kamu."

Kasak-kusuk di sekitar kami membuatku yakin kalau semua orang sedang memperhatikan kami. Masa bodoh, biar saja mereka tahu kalau aku sedang melepas rindu dengan kekasihku.

"Hei, sudah dong. Kita diliatin orang-orang," ujar Semesta pelan. Dia memang paling anti mempertontonkan kemesraan di depan umum.

"Biarin! Biarin mereka tahu," kataku bersikeras. Aku mendongak menemukan mata tajamnya. Tanganku memukul dadanya pelan, Semesta tidak melawan. Juga tidak melepaskan genggaman tangannya.

Aku mengamati wajahnya. Hatiku mencelos memperhatikan plester luka di keningnya, membayangkan peristiwa yang bisa membuatnya mendapatkan luka itu.

"Kenapa enggak kasih kabar langsung ke aku? Aku harus tahu dari Aji soal keadaan kamu."

"Kamu masih marah sama aku."

Aku mengusap air mata dengan punggung tanganku. "Kebalik. Kamu yang marah sama aku."

Semesta mendongak menatap langit-langit sebelum kembali melihatku. "Benar. Aku marah." Ia menyeringai. Kali ini aku bisa melihat matanya sedang menggodaku dan aku kembali meninju dadanya. Tinju kedua kumaksudkan lebih keras, tetapi Semesta lebih dulu menepis tanganku tepat waktu.

"Kamu suka banget main kasar."

"Kamu dulu bilang untuk tidak pernah naik gunung kalau lagi ada masalah."

Semesta membawa tanganku ke bibir dan mengecupnya sekilas. "Kupikir kamu perlu waktu. Kita perlu waktu."

"Kamu sendiri mendaki untuk menghindari masalah. Dulu kamu malah menyalahkan aku," tuduhku masih tidak terima.

"Tapi berkat itu sekarang aku sadar enggak mau maksain kemauan aku sama kamu. Kamu bisa ambil waktu sebanyak yang kamu mau sampai siap."

"Yakin?" suaraku bergetar. Aku merasa sudah akan menangis di depan umum kalau Semesta tidak menangkupkan tangannya di setengah wajahku.

"Iya." Semesta mengacak-acak puncak kepalaku. "Sudah jangan nangis lagi. Malu dilihat orang."

Larangan Semesta tidak menghentikanku kembali menghambur dalam pelukannya. Tidak memedulikan protesnya karena kami jadi perhatian semua orang di stasiun.

Dari balik punggung Semesta aku melihat pemandangan lain lebih menarik. Pantas saja semua orang memperhatikan kami. Aku dan Semesta bukan satu-satunya pasangan sedang berpelukan melepas rindu di tempat ini.

Aji dan Mika berpelukan di dekat dinding. Raut wajah Mika penuh rasa syukur sementara Aji membelai rambutnya pelan. Tidak seperti Semesta, Aji sepertinya nyaman-nyaman saja dipeluk begitu.

Aku menyodok perut samping Semesta dan mengarahkannya ke tempat sepasang kekasih baru itu. "Aku pikir Mika menemaniku ke sini karena dia juga khawatir sama kamu. Ternyata dia mau jemput Aji."

Semesta tergelak. "Benar, kan! Apa kubilang? Sejak masih di Jogja Aji sudah galau sih. Ternyata galaunya sama Mika."

Mataku melotot memandang Semesta. "Kalian berdua mendaki demi menghindar dari masalah. Makanya Merapi sampai meletus. Kalian bawa-bawa masalah enggak penting, sih. Penunggunya Pasar Bubrah ngamuk tuh sama kalian."

"Jangan bilang macam-macam," sergah Semesta. "Tapi pulang-pulang masalah jadi selesai, kan. Lihat tuh, berdua jadi pasangan. Bisa double date beneran kan kita bentar lagi." 

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang