Adara
Perjalanan mengubah kami layaknya dua jalinan akar saling bertaut dalam waktu singkat. Jeratan akar itu mematikan. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menguraikannya tepat sebelum ia memilin makin kuat. Pemisahan itu mengembalikan kedua akar ke buminya masing-masing, menjadi tak lebih seperti dua pohon, berdiri sendiri-sendiri dengan luka bekas belitan.
Dua cangkir kopi di samping api unggun tidak pernah tersentuh sampai udara dingin lereng Gunung Arjuna menguapkan panasnya dan mengubahnya menjadi sedingin es. Tidak ada yang manis dari duduk saling bersisian dengan jemari saling bertaut di balik kantong jaket demi mencari kehangatan. Kami sama-sama tahu, ini semua akan jadi kali terakhir. Ini adalah sebuah perjalanan pamungkas.
Waktu menggerakkan malam dan menggulirkan bintang gemintang di langit area kemah Pos 1 Kop-kopan Gunung Arjuna. Temaram lampu senter menyala di dalam tenda-tenda pendaki yang sedang beristirahat. Hanya ada kami berdua ditemani api unggun yang sudah lama padam. Waktu terlalu berharga kalau sekadar dilewatkan dengan berbungkus kantong tidur dalam tenda. Walau dingin setengah mati, aku masih tetap ingin tinggal lebih lama di sisinya.
"Semesta," panggilku lirih. Semburat jingga mulai muncul di langit timur. Semesta menoleh. Kali ini aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. "sebentar saja, ya. Aku ingin begini."
Bahu Semesta yang awalnya menegang perlahan melembut. Namun, aku tidak punya banyak waktu. Sebelum kepalang nyaman, fajar sudah lebih dahulu menjemput dan Semesta pun bangkit. Dengan jemari kami masih saling terjalin erat, ia menuntunku ke tempat rahasia kami.
Semak liar dan pohon-pohon jati muda rapat mengapit sebuah jalur setapak di samping Kop-Kopan. Di baliknya terdapat sebuah punggungan dengan tanah dipenuhi alang-alang. Di sana kami duduk di sebuah batu besar dan menanti cahaya fajar pertama menyapa dari timur. Kabut di bawah bukit perlahan naik, Gunung Penanggungan di barat seolah meniupkannya.
Hangat tangan Semesta masih menyebar di jemariku. Aku tidak ingin melepaskannya, tetapi seiring cahaya fajar yang menyinari wajah kami, aku tahu kenyataan itu juga makin jernih membayang di pelupuk mata.
"Semesta."
"Adara."
Kami berucap bersamaan. Matahari terbit di bawah kumpulan awan tipis di batas cakrawala. Bukit rahasia kami itu selalu berubah menjadi keemasan setiap pagi. Namun, itu semua tidak terlukis di mata Semesta saat aku menatapnya. Bila kesedihan memiliki warna, mungkin itulah kanvas utama di matanya.
"Ini akan jadi perjalanan terakhir kita," kataku.
Butuh waktu lebih lama bagi Semesta membalas ucapanku. "Maaf aku tidak bisa menjadi lelaki baik."
"Tidak ada kata maaf hari ini, Ta." Aku memotong perkataannya.
Semesta mengangguk menyetujuinya. Kami berdua sudah terlalu banyak mendengar kata maaf. "Kamu akan melihat matahari terbit yang lebih indah dari ini, Adara." Semesta meyakinkanku.
Tapi tidak seindah saat aku melihatnya lewat matamu, dustaku dalam hati. "Kamu juga."
Pandangan Semesta menyapu sekitarnya pelan-pelan. "Aku tidak akan berhenti di sini lagi kalau mendaki Arjuna. Aku akan langsung naik ke Pondokan."
Aku mungkin tidak akan pernah kembali ke Arjuna setelah ini, kataku dalam diam. "Kalau gitu jangan mendaki lewat Tretes. Aku malah enggak akan ingat lagi tempat ini."
Senyum di wajahku tidak sanggup mencerahkan wajah Semesta. Perlahan ia melepaskan jemariku dan aku menarik tanganku dari dalam jaketnya.
"Selamat tinggal, Adara."
Hatiku makin berat. Mataku kian panas. Sekuat tenaga aku mendorong emosi itu ke tempat terjauh dalam hatiku.
"Selamat tinggal, Semesta," balasku meneguhkan suara.
Perjalanan turun menjadi lebih sunyi. Tidak ada yang lebih menjengahkan dibandingkan jarak dan dinding pembatas tak kasat mata yang mendadak menjadi lebih tangguh sejak fajar di bukit rahasia kami. Karena kami berdua baru saja melakukan perjalanan terakhir untuk memutus segala jalinan tersisa dalam hati masing-masing.
Semesta dan aku mengawalinya dari sebuah perjalanan. Lewat sebuah perjalanan terakhir, kami memutus seluruh ikatan yang mengakar kuat dalam hati.
***
Semesta
Bagaimana kalau mimpi kalian selalu sama setiap malam?
Pertanda buruk.
Aku langsung sadar di malam keempat mimpi itu datang. Api dalam mimpiku membakar semua tempat. Aku enggak bisa lihat apa-apa, hanya api. Panasnya nyata membakar seluruh tubuh. Hingga aku akhirnya tersentak bangun, tubuhku sudah basah karena keringat dingin.
Kali ini beda. Mimpi lain datang lebih dahulu sebelum api datang membakar semuanya.
Adara.
Ah, kenapa pikiranku menyebut nama itu lantang? Bertahun-tahun lamanya gadis itu sudah jadi hantu di alam bawah sadarku. Kenapa dia datang bersamaan dengan api? Kenapa dia enggak datang di kamar hotel saja biar kukenang lebih indah?
"Cuk!" Aku mengumpat keras dan buru-buru bangun dari tempat tidur kontrakan sebelum pikiranku mengelana makin jauh. Malam masih perkasa, kabut merayap turun ke pucuk-pucuk daun teh di perkebunan Desa Kersik Tuo. Udara dingin melenyapkan keringatku cepat.
Adara. Tanpa sadar otakku sudah menggemakan namanya lagi. Sial! Seharusnya tadi aku enggak memaksa bangun dan membiarkan saja api membakar semuanya daripada aku harus menyebut-nyebut nama itu. Aku tahu keduanya buruk. Baik api yang membakar dalam mimpiku, atau Adara yang kehadirannya sudah lama kuanggap suatu kesialan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Adara (TAMAT)
RomantizmSemesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya dengan masa lalu, tetapi juga dengan kenangan lama mereka. Akhirnya ia tahu bahwa waktu yang memisahk...