27. Bukit Sanur

297 51 0
                                    

Semesta

Air dijerang di atas kompor sudah lama mendidih, tetapi kedua telapak tangan masih nyaman di dekat nesting yang menjalarkan panas di permukaannya. Senyap di Cemoro Limo. Semua orang masuk ke tenda di malam yang masih gagah.

Setelah tangan mulai hangat, baru nesting kuangkat dan airnya kutuang ke atas bubuk kopi hitam dan gula. Cairan hitam pekat menguarkan uap ke udara. Aroma kuat kopi bikin mata makin cemerlang.

Ujung mata menangkap gerakan di tenda dekat dapur umum. Cak Arip membuka risleting tenda sambil menarik tas daypack. Ia sudah siap dengan pakaian dan sepatu trekking.

"Mau ke mana, Cak?"

Cak Arip hanya sekilas melihat, lalu kembali sibuk memasukkan botol minum ke saku tasnya. "Patroli. Ingin coba lihat goa di Bukit Sanur. Mumpung lagi cerah."

Di atas sana awan enggak berani menghalangi bulan. Sinarnya menggelayut di antara bintang-bintang, ikut menerangi puncak-puncak pepohonan. Coba kalau cuaca secerah ini tadi pagi.

"Kamu kok enggak tidur?"

Aku menggeleng. Tidur sudah jadi kemewahan begitu aku datang ke sini. Susah sekali memejamkan mata. Setiap kali kelopak mata tertutup, pikiranku bekerja seratus kali lebih keras. Memikirkan Adara, alasannya meninggalkan timnya, kemungkinan lokasi keberadaannya. Lebih baik bagiku kalau dia hadir dalam mimpi saja. Lebih tenang kalau dia hadir dalam alam bawah sadar, bukan? Sekalian mungkin dia bisa sampaikan pesan tersirat dalam mimpi.

Kebalikan denganku, Aji lelap di sampingku ketika aku meninggalkannya tadi. Enak sekali dia bisa memejamkan mata di tengah suasana genting macam ini, merangkul mimpi-mimpi di sisa sepertiga malam. Sementara aku harus merem melek berusaha tidur sejak tadi.

Seseorang muncul dari balik semak. Pamungkas, anak Wanadri itu menghampiri kami dengan senter di tangan. Setiap relawan Wanadri selalu mengenakan kemeja cokelat dan syal oranya melingkari leher, ciri khas mereka.

"Budal saiki, Cak?" tanyanya. (Berangkat sekarang, Cak?)

"Boleh ikut?" sergahku. Mendingan ikut sama mereka daripada menunggu pagi sendirian di sini.

Cak Arip menilaiku sebentar sebelum tangannya terkibas ke depan menyuruhku berdiri. "Ya udah, ayo!" Aku segera bangkit, mematikan kompor dan meninggalkan kopi yang sama sekali belum tersentuh.

Pamungkas dua kali lebih cepat dariku dan Cak Arip. Ia berjalan jauh di depan. Cahaya senternya jadi patokan kami berdua. Walaupun begitu Cak Arip tetap memegang komando dan mengarahkan langkah untuk mengambil jalur pintas di luar jalur utama pendakian.

Suara kaki beradu dengan semak dan tanaman paku menjadi satu-satunya suara dalam hutan selain suara tenggoret dan binatang malam. Beberapa kali ranting pohon di atas kepala bergerak, lutung atau monyet mungkin sedang main ke rumah tetangga.

Tepat di perbatasan hutan dan sabana, gerakan cahaya senter Pamungkas tiba-tiba berhenti. Beberapa meter di depan sosoknya sedikit berbalik melihat kami. Dengan isyarat tangan ia meminta kami duduk tenang. Di depannya, empat pasang mata menyala dalam kegelapan. Kawanan macan tengah lewat.

Pamungkas mematikan senter. Kami ikut menunggu dalam diam. Aku enggak menghitung berapa lama aku lupa bernapas. Bersisian jalan sama macan di jalur pendakian yang umum dilewati pendaki memang kecil. Namun, malam ini kami sengaja ambil jalan pintas, jalan orang desa kalau masuk hutan cari lumut putih, sekaligus jalur binatang liar.

Pasang mata menyala dalam gelap itu balik menatap kami. Sedikit cahaya rembulan membuatku bisa menangkap siluet tubuh besar hitamnya. Enggak ada yang bergerak. Ketenangan jadi kunci supaya bisa lolos dari kawanan penguasa hutan.

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang