40. Mendaki Kembali

300 46 0
                                    

Adara

"Kalian mau naik ke gunung mana?" Pertanyaan itu dilemparkan Banda dengan penuh selidik.

Aji batal memasukkan baju yang sudah digulung karet ke dalam carrier, malah setengah membantingnya ke lantai lalu menaruh seluruh perhatiannya kepada Banda di seberang ruangan.

"Tambora," desisnya kesal. Lebih karena sebenarnya pertanyaan itu sudah dilemparkan Banda untuk ketiga kalinya sepanjang hari ini. "Sumpah aku tekuk bawahnya ketek kalau kamu sampai tanya itu lagi."

"Ya, kali saja kalian berubah pikiran terus melipir ke mana gitu."

"Emangnya kamu kira kita naik pesawat jet pribadi yang bisa ganti haluan kapan pun?"

"Selain Mas Aji sama Mas Fandi berapa orang tim kalian di sana?" Banda keras kepala mengajukan pertanyaan lainnya.

"Ra, yakin nih bocah adik kamu? Bukan bapak kamu terus nyamar jadi Banda, kan?" Aji melemparkan pertanyaannya kepadaku. Tangannya bertumpu di atas lutut, dan kali ini dia sudah benar-benar melupakan barang-barangnya.

Aku hanya bergantian melihat mereka berdua sambil menahan tawa. Kami semua sedang berkumpul di rumahku, packing untuk perjalanan kami ke Gunung Tambora besok. Akhirnya kuputuskan untuk mengubungi keduanya, Fandi dan Aji. Aku menerima tawaran kerjasamanya Fandi, tetapi tidak menjanjikan apa pun kepada Aji. Aku akan memikirkan sponsor Tamu Alam sesudah pendakian kami ke Tambora.

Bekerja bersama Fandi lebih mudah, karena sebelumnya kami belum saling kenal. Namun, lain cerita bersama Aji. Aku harus berpikir seribu kali sebelum menghubunginya.

Bisma benar. Aku harus menghadapi ketakutanku untuk sembuh. Kupikir bersama Aji akan berat, tetapi sejak awal dia sama sekali tidak pernah melibatkan Semesta. Sepertinya dia juga menjaga jarak seminimal mungkin agar aku tidak pernah bertemu dengannya.

Mika mengulurkan kantong risleting kecil berisi pakaian dalamku dan aku buru-buru memasukkannya ke dalam carrier. Kami semua memutuskan untuk tidur di rumahku dan berangkat bersama ke bandara besok pagi. Sekalian mengecek kalau ada peralatan dan logistik yang kurang.

"Jadi? Berapa orang?" Banda masih belum menyerah.

"Jawab deh, Ji! Daripada kontrak Tamu Alam nanti ditolak. Banda kan sudah kayak manajer tidak resminya Adara."

"Anak bau kencur gitu enggak tahu apa-apa!"

Banda bangkit tidak terima. Pekerjaan mengatur interaksi sosial mediaku dengan dunia luar adalah hal paling dibanggakannya.

Aji buru-buru mengangkat tangan tanda menyerah, dan menyuruh Banda duduk di tempatnya. "Kita bertiga saja berangkat dari Surabaya. Sampai sana sudah ada tim yang jemput. Ada guide lokal, ada orang basecamp yang atur logistik juga. Puas?"

Begitu melihat Banda mengangguk pelan, baru Aji menghela napas lega. "Fan, alat lengkap, kan? Ada yang kurang?"

"Enggak. Terima beres pokoknya."

"Bikin bagus, ya."

"Iya, benar. Jangan sampai bikin Mbak Adara jelek ya, Mas Fandi. Ambil angle gimana gitu pokoknya jangan sampai dia kelihatan gendut."

"Dancuk! Aku sudah profesional. Tenang wae."

Umpatan yang keluar dari mulut Fandi sontak mengundang gelak tawa dari semua orang. Logat ibukota di lidahnya terasa salah mengucapkan umpatan khas Surabaya.

"Enggak usah misuh, Fan," sergah Aji. Tangannya dikibaskan di depan muka Fandi. "enggak pantes blas!"

"Lagian nih anak cerewet banget, sih. Kakak kamu pasti aman sama kita."

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang