19. Dalam Setiap Kehidupan

331 52 1
                                    


Adara

Tunjungan Plaza selepas pukul lima sore di hari Senin tidak terlalu ramai. Orang-orang sepertinya lebih memilih langsung pulang setelah penat seharian daripada memperpanjang malam dengan nongkrong di kafe. Aku juga sesungguhnya lebih memilih meringkuk di kasur andai saja Bisma tidak bersikeras mengajakku bertemu di Starbucks.

Bisma melambai dengan kedua tangan terangkat ke udara begitu melihatku. Sebuah laptop menyala di hadapannya. Bibirnya melengkung sempurna. Dari caranya menarik perhatianku dia sangat antusias dengan pertemuan kami. Ini adalah kali kedua kami bertemu setelah peristiwa toko buku itu. Kami hanya sempat bertukar nomor ponsel dan bertukar pesan setelahnya.

"Akhirnya bisa juga nyolong jadwalnya ibu konsultan sibuk," ledek Bisma.

Aku memilih tidak menanggapi candaannya dan duduk di sampingnya. "Kalau aku ke sini cuma buat dikritik mendingan aku pulang, deh."

Bisma mengeluarkan satu bendel kertas dari dalam tasnya dan meletakkannya di tengah meja. Aku mengenali itu sebagai naskahku. Duduk di depannya dengan prospek membahas hasil tulisan pertamaku setelah bertahun-tahun vakum menulis fiksi sungguh di luar dugaan.

Aku tidak pernah berpikir akan kembali menulis setelah bertemu Bisma. Ia membombardirku setiap kali kami chatting. Awalnya aku bahkan tidak menanggapinya, tetapi tiap hari ajakan Bisma makin gencar hingga membuatku jengah juga.

Tidak bisa dimungkiri bertemu Bisma membangkitkan kenangan di tahun-tahun masa kuliah dulu. Masa ketika kami hanya berdua menghabiskan berjam-jam di ruangan UKM untuk membedah dan berdebat soal naskah masing-masing. Aku rindu akan sosoknya, bagaimanapun dia salah satu teman akrabku masa kuliah dulu sebelum kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Selain itu, bertemu lagi dengan Bisma juga mengembalikan kerinduanku untuk menulis.

Tidak seperti masa kuliah dulu, ketika bermimpi dan berkhayal adalah bentuk kemerdekaan paling hakiki, jemariku sudah kelewat kaku untuk disuruh mengarang fiksi lagi. Semenjak dahulu aku memang hanya paling jago dalam hal menulis cerpen. Aku tidak pernah berhasil menuntaskan satu pun novel. Sekarang jangankan novel, aku bahkan tidak ingat kapan kali terakhir menulis buku harian.

Naskah di tengah meja penuh dengan coretan. Aku hanya sekilas meliriknya sebelum kembali menatap Bisma. "Benar, kan? Percuma deh kamu ajakin aku nulis lagi. Level kita sudah berbeda. Selamanya aku enggak akan pernah bisa menjadi seperti kamu."

Dulu sebagai seorang mahasiswa Sastra Indonesia tingkat akhir, Bisma selalu merasa punya wewenang untuk mengoreksi segala kesalahan tata bahasa dan logika cerita pada naskahku. Aku tidak suka kalau dia melakukannya. Sama halnya seperti membiarkan seseorang memasuki ranah pribadi dan memporak-porandakan segalanya yang menurutku sudah tertata rapi.

"Pasti. Aku penulis bestseller nomor satu di Indonesia. Jangan coba-coba jadi sainganku, Ra," ucap Bisma percaya diri. Penampilannya boleh berubah, tetapi dia masih seperti Bisma yang kukenal. Usil sekali dan suka menggoda temannya sendiri. Caranya mudah tersenyum, seiring kedua mata menjadi dua garis lengkung itu juga masih sama.

"Sombong," komentarku sambil memutar bola mata. "Jadi tulisanku jelek?"

"Dari skala satu sampai sepuluh, kamu tidak payah-payah banget. Aku kasih kamu tujuh, deh. Kalau ada lomba cerpen, kamu mungkin akan masuk seratus besar, tapi tidak cukup buat jadi pemenang."

Aku tergelak. Jadi bagian seratus orang dari ribuan penulis itu sudah sangat bagus. Sayangnya Bisma tidak gampang puas. Sejak dahulu dia selalu perfeksionis.

"Apa yang Mas Bisma harapkan? Sudah tahunan aku berhenti nulis. Aku nulis cuma buat senang-senang. Bukan mau jadi profesi seperti kamu. Ikutan lomba? Kita sudah ketuaan buat itu," sanggahku.

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang