Semesta
Angin bertambah kencang di Puncak Rengganis selepas sore. Salah satu dari tiga puncak di Gunung Argopuro tetap kelihatan cadas walau langit di atas kepala beberapa kali bergemuruh samar. Bebatuan kapur dan belerang memenuhi petak datar, bekas reruntuhan petilasan Rengganis dan dua makam di tengahnya menjadi satu-satunya pertanda pernah ada kehidupan di tempat keras ini dahulu kala.
Logikaku masih sulit menerima kalau Adara sempat kemari setelah terpisah dari timnya. Lalu mendirikan bivak darurat dan berlindung dari badai, hingga mata kepalaku melihatnya sendiri. Bivak di depanku dibuat buru-buru dari kain fly sheet. Sebuah trekking pole masih berdiri di tengahnya sebagai penyangga, sementara tali yang mengikat ujung-ujungnya telah lepas. Mungkin terkena badai beberapa hari lalu.
Adara pernah ke sini. Aku bisa merasakannya. Logika, hati, dan instingku memang lagi enggak singkron. Pendapatku bisa berubah begini bukan karena kesaksian teman-temannya yang bilang barang-barang ini punya Adara. Melainkan instingku mengatakan Adara memang ke sini selepas memisahkan diri dari teman-temannya.
Aji memantau komunikasi dan briefing lewat HT. Jarak beberapa meter di belakang, suara orang-orang di tiga posko, Danau Taman Hidup, Cemoro Limo, dan Sabana Lonceng bergantian memberikan laporan hasil penyisiran hari ini. Cak Arip juga ikut dengan kami kemari, dia sibuk memeriksa turunan menuju Sijeding dari puncak. Besok SRU di posko Sabana Lonceng akan ditugaskan menyisir kawah hingga gunung kapur.
Sikap Aji kelewat berlebihan memaksa menemaniku naik ke Rengganis sore ini. Bukannya aku enggak tahu, dia takut aku melakukan hal aneh-aneh. Aku masih waras, masih ingin pakai tenaga sendiri untuk cari Adara. Justru aku ke sini buat lihat bivak ini. Barangkali bisa dapat petunjuk bekal pencarian besok.
Petunjuk model apa, aku juga enggak tahu. Pikir terakhir, pokoknya naik dahulu. Sesampainya di sini pikiranku kembali mumet. Satu-satunya petunjuk adalah Adara memang ke sini dan selepas itu jejaknya ditelan bumi. Dasar sok! Memangnya aku berharap bakalan mengenali jejak Adara setelah lima tahun enggak pernah ketemu dia?
"Itu memang punya Mbak." Sebuah suara membuyarkan semua lamunanku.
Banda berdiri di jalan setapak menuju puncak. Rambut di keningnya tertiup angin sementara kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana cargo. Matanya melewatiku dan ia menatap bivak di belakangku.
"Woi! Kapan teko? (Kapan datang?) Mika sama siapa?" HT di tangan Aji diabaikan begitu saja setelah melihat Banda. Wajahnya khawatir. Banda memang sudah diwanti-wanti untuk menjaga Mika di basecamp.
"Sama tanteku. Tadi pagi datang sama Ayah. Terus aku langsung nyusul ke sini bareng sama orang-orang yang mau rolling." Banda menjawab dengan nada datar. Setelah hampir seminggu anaknya hilang, baru pria itu menunjukkan batang hidungnya.
Aji mengembuskan napas lega. Perhatiannya pasti terpecah. Antara tanggung jawabnya sebagai ketua ekspedisi untuk mencari Adara dan kondisi Mika yang terguncang. Belum lagi pendakian ini sendiri pasti sudah menguras tenaga. Badannya boleh saja kekar, tetapi kelelahan di mata gagal disembunyikannya. Aku bisa melihat pasang mata itu beberapa kali menatap sayu.
"Aku pengen ikut cari juga." Enggak ada satu pun dari kami menyahut perkataan Banda. Ia pasti terpukul dengan hilangnya Adara. Namun, pemuda itu kelihatan lebih baik dari dugaan kami. Kalau perasaannya berkecamuk, dia lihai menyembunyikannya.
Banda beranjak dari tempatnya dan berjongkok di hadapan bivak. Satu tangannya terkepal di permukaan bebatuan cadas. Sementara matanya enggak lepas dari trekking pole yang menyangga kain bivak. Terukir nama Adara di dekat pegangan permukaan karet. "Ini memang punya Mbak Adara. Jadi benar dia ada di sini."
"Sebenarnya tongkatnya udah roboh waktu kita temukan." Aji menimpali
"Mbak Adara cari apa sampai pergi sejauh ini?" tanya Banda lirih. Untuk kali pertama kulihat bibirnya bergetar dan ia mati-matian menahan emosi.
Pertanyaan yang sama juga meliputi kami semua. Sudah kuduga Aji pasti enggak punya jawaban. Dia barangkali sudah bosan menjawab enggak ada yang tahu. Dia hanya melemparkan pandangannya jauh ke arah awan pekat di sebelah barat. Samar-samar suara gemuruh terdengar. Hanya tinggal menunggu waktu sampai kilatan itu merambat tepat di atas kepala kami.
"Mas Ical sudah atur SRU supaya turun ke Sijeding besok," kata Aji, akhirnya memilih untuk enggak menjawab pertanyaan yang jawabannya hanya diketahui Tuhan.
"Sarung tangan yang ditemukan di Cemoro Limo, apa benar itu punya dia?" tanya Banda lagi, kali ini nadanya berubah kembali tegar dan datar.
"Memang punya dia," jawab Aji berat hati.
Banda menunduk, dan aku bisa melihat kelopak matanya bergerak-gerak seolah sedang berusaha keras memerangkap air mata. Namun, ketika Aji menepuk bahunya wajahnya lagi-lagi kembali keras.
"Masih terlalu dini untuk menyimpulkan, Banda." Aji ikut berjongkok. "Banyak kemungkinan kenapa sarung tangan itu sampai ditemukan di sana. Bisa terbawa monyet atau binatang lain. Apalagi lokasi penemuannya di perbatasan Cemoro Limo dan Hutan Lumut. Jejak Adara hilang di Cemoro Limo, lalu ditemukan lagi di tempat ini. Dia bisa ada di mana saja sekarang. SRU Cak Arip besok akan sisir sungai di Cemoro Limo sampai ke air terjun. Sementara SRU lain akan mulai sisir jejak di lembah Sijeding. Masih ada tim lain berangkat ke Rawa Embik."
"Pak Sutoyo sudah ada di Danau Taman Hidup waktu aku berangkat tadi. Ada anak-anak Wanadri dan Mapala baru datang."
Aji mengangguk menyetujui perkataan Banda. "Kita butuh semua tenaga yang ada buat menemukan Adara."
"Mbak Adara harus ketemu. Ini masuk pencarian hari ketiga, Mas. Kalau enggak ...." Banda enggak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia buru-buru membuang muka ke tempat lain.
Atau kalau enggak, pencarian ini akan ditutup. Cuma dalam benak aku berani menyuarakan kelanjutan kalimat Banda.
Menurut Undang-Undang SAR, pencarian survivor dilakukan selama tujuh hari sejak open SAR dibuka. Operasi akan ditutup dalam tujuh hari bila enggak ditemukan lagi tanda, jejak, atau kemungkinan kuat lokasi survivor di lapangan. Operasi SAR dibuka 48 jam setelah Adara dinyatakan hilang. Ini sudah masuk hari ketiga. Berarti tersisa empat hari lagi. Kami harus mengerahkan seluruh tenaga setelah ini. Apa pun yang terjadi Adara harus ditemukan.
"Adara pasti ketemu," ucapku. Bahkan di telingaku sendiri, perkataan itu enggak lagi sekuat pertama kali kukatakan kepada Banda di Hutan Damar.
"Harus. Aku akan bantu mulai besok. Makin banyak tenaga, kemungkinan ketemu makin besar, kan?" Banda mencari persetujuan lewat kami berdua. Aji hanya mengangguk tanpa menatap matanya. "Mbak mungkin sekarang lagi kedinginan di suatu tempat."
"Tasnya belum ketemu. Kamu jangan khawatir, dia bawa tenda. Adara selalu membawa sendiri perlengkapannya. Perkiraanku dia juga masih punya logistik waktu terpisah."
Aku selalu meminta Adara membawa perlengkapan selengkap mungkin dalam tas carriernya. Jangan pernah mengandalkan teman seperjalanan lain. Selalu jadi yang paling siap dan mandiri ketika mendaki.
Cak Arip meloncati bebatuan dari bibir lembah dan bergabung bersama kami. Mukanya boleh jadi selalu tenang, tetapi aku yakin pikirannya sedang sibuk bekerja.
"Gimana Cak?"
Cak Arip menggeleng sambil berkacak pinggang. "Nihil. Enggak ada jejak batu jatuh atau tanaman patah. Tapi cobalah, besok tetap kita turun ke bawah."
Cahaya kilat merambat di atas kepala. Selang beberapa detik suaranya menggelegar lebih dekat di telinga daripada di tempat lain. Badai sepertinya akan kembali datang. Cuaca Argopuro memang enggak bisa diprediksi. Padahal sepanjang hari tadi matahari masih terik. Malam ini enggak bakal mudah bagi orang-orang yang camp di Sabana Lonceng dan sekitar puncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Adara (TAMAT)
RomanceSemesta ikut dalam sebuah misi pencarian mantan kekasihnya yang hilang di Gunung Argopuro. Hatinya bergejolak karena harus berhubungan tidak hanya dengan masa lalu, tetapi juga dengan kenangan lama mereka. Akhirnya ia tahu bahwa waktu yang memisahk...