42. Legenda Rengganis

304 53 0
                                    

Semesta

Subuh itu, Mbah Jali menjelma jadi orang lain ketika aku melihatnya turun dari surau bersama penduduk desa lain. Kupikir aku salah lihat, tetapi ketika sebaris mata nyalang diliputi keriput itu kembali menatapku, aku yakin dia orang yang sama. Hanya sampulnya saja berubah.

Rumahnya berdampingan dengan surau desa. Blangkonnya digantikan kopyah hitam, sarung, baju koko dan sajadah disampirkan di satu bahu. Orang-orang di surau bergantian menyalami sambil menyapanya dengan panggilan Pak Haji. Aku enggak percaya lelaki tua itu adalah sarkun yang membakar rokok dan menyan di Cemoro Limo dengan merapal berbagai mantra.

Riyan bersingsut di belakangku. Lewat bahu, kulirik tingkahnya gusar sambil menenteng kaki seekor ayam hutan. Mendadak, aku merasa bodoh sekali membawa-bawa ayam itu kemari.

Mbah Jali enggak terkejut dengan kedatangan kami. Ia membuka pintu pagar rumahnya. "Masuk," ucapnya datar.

Seorang pemuda mengikutinya dari belakang dan dan kami dipersilakan duduk di salah satu kursi teras rumah.

"Baru selesai subuhan, Mbah." Aku mulai berbasa-basi. Panggilan Mbah sudah enggak cocok lagi buatnya. Namun, masa aku harus ikut-ikutan memanggilnya Pak Haji juga? Di bawah atap rumahnya, wajahnya jadi lebih lunak, tetapi matanya tetap keras, auranya juga tetap misterius.

"Masa Mbah sudah cakep dibilang mau nggorok leher preman pasar? Ya habis menghadap lah!" Jawabannya terdengar sarkatis.

"Kemarin turun dari atas jam berapa, Mbah? Kok saya enggak lihat lagi."

"Begitu kamu tinggal, Mbah langsung turun." Ia mengurut sedikit rambut di dagunya.

Kesal langsung saja merambati diriku. Kalau dia langsung balik setelah kutinggal, berarti dia enggak punya niat meneruskan pencarian. Itu artinya usahaku jauh-jauh menemaninya sia-sia. Buang-buang waktu! Namun, kenapa lelaki ini berbohong kepada kami? Pakai acara menyuruh tebang pohon sampai berdarah pula. Aku mulai ragu alasanku datang kemari subuh-subuh begini.

"Kamu pikir Mbah bohong?"

Aku tersentak. Ia seperti bisa membaca isi pikiranku.

"Mau apa datang kemari?" tanyanya lagi tanpa basi-basi.

"Kita mau berangkat lagi ke atas, Mbah." Sengaja kuberi jeda untuk melihat reaksinya. Lelaki tua itu masih tenang sambil melihat jauh ke arah jalan setapak depan rumah. "Kenapa waktu itu Mbah bilang Adara ada di tempat jauh?"

"Memang jauh." Wajahnya beralih seketika. Ia melihatku, dengan mata nyalang penuh keriput itu lagi. "Hanya ada satu yang dekat."

"Sinten Mbah?" (Siapa Mbah?) sahut Riyan seketika.

Mbah Jali diam. Namun, matanya enggak mau lepas dariku. Sikapnya adalah jawabannya.

"Kalian kemarin tanya di mana gadis itu. Wes tak jawab."

"Apa Mbah tahu di mana?" kali ini gantian aku mendesaknya.

"Mbok pikir aku seng duwe Argopuro!" (Kalian pikir aku yang punya Argopuro!) gelak Mbak Jali kedengaran berat di suara tuanya.

Aku mencengkeram lengan kursi kayu keras. Gelaknya terasa salah, aku enggak suka setiap tawa dalam situasi seperti ini. "Kami bawa ayam hutan."

Riyan buru-buru menyodorkan ayam hutan di hadapannya, sudah gatal ingin melepaskan binatang itu dari tangannya. Mbah Jali mengedikkan kepalanya pada pemuda di sampingnya. Pemuda itu langsung mengambil ayam dari Riyan dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Le! Kasih Cak Poh ayamnya nanti pagi. Suruh sembelih saja. Minta ibu masakin ayam bumbu laos," teriak Mbah Jali ke dalam rumah.

Geraman rendah enggak aku sadari keluar dari sela-sela gigi. Apa sih maksud lelaki tua ini? Apa dia mau mempermainkan kami?

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang