33. Hantu Masa Lalu

281 46 0
                                    

Semesta

Matahari sudah hampir menyentuh garis cakrawala sebelah barat ketika aku sampai di sumber air di bawah puncak. Mendung di timur menggelapkan bumi lebih cepat. Sudah lewat jam lima sore, sebagian SRU pasti sudah ditarik ke pos masing-masing. Namun, itu enggak memelankan derap lariku menuju daerah di antara Puncak Hyang dan Puncak Rengganis, tempat Cak Arip sudah menungguku.

Aji dan Banda serta beberapa orang lainnya masih ikut bertahan di sana. Aji meloncat dari tempat duduknya begitu melihatku. Banda menggulung tali webbing, tetapi matanya enggak lepas mengawasi kami.

"Di mana?" aku terengah. Seluruh otot di tubuhku protes setelah berlari enggak berhenti. Ditambah sudah berhari-hari aku melewatkan isitirahat. Aku enggak peduli. Kalau perlu aku bisa menuruni lembah saat ini juga.

Aji menggiringku ke bibir lembah. "Lihat satu ranting patah di situ?"

Susah. Lembah mengarah ke Sijeding ini tingginya enggak main-main. Belum lagi kemiringannya hampir tujuh puluh derajat. Bebatuan menurun kelihatan cadas, hanya ada beberapa akar tanaman mencuat keluar.

"Rantingnya patah. Cuma satu," ulang Aji masih terus berusaha menunjukkannya kepadaku.

Aku melihatnya. Sebuah pohon yang tumbuh di kemiringan lembah, dengan satu ranting terluarnya patah. Ranting itu enggak terlalu besar, membuatnya mudah patah kalau ada tangan mengapainya. Enggak ada tumbuhan lain di tempat itu. Sedikit kabut membuatnya susah menemukan jejak lainnya. Namun, satu ranting patah itu cukup menumbuhkan tunas harapan baru.

"Kamu sudah turun, Cak?" tanyaku penuh harap.

Cak Arip menggeleng. "Tadi kita sisir lembah sebelahnya. Ranting patah ditemukan sama teman-teman Wanadri. Cuma sempat turun sekali, itu pun sebatas pohon itu." Sebelum ini, kami memang enggak pernah punya kesempatan menuruni lembah di sekitar puncak dan Sijeding.

Banda selesai menggulung tali dan meletakkannya bersama tumpukan alat-alat lain. "Kalau itu memang jejak, jadi maksud kalian Mbak Adara jatuh ke dasar jurang?" Suara Banda begetar di akhir kalimat. Namun, ia menjaga wajahnya tetap keras.

Buru-buru kuraih tangannya dan membawanya ke tepi lembah. Kupaksa kepalanya menunduk menatap dasar. "Kamu bisa lihat dasarnya?"

Awalnya Banda ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk.

"Sama mata telanjang saja bisa lihat kalau enggak ada tubuh Adara di sana," kataku ketus. "Jangan buat kesimpulan sendiri. Aku cuma bilang ini bisa jadi jejak. Tapi bukan berarti ini jejak Adara."

"Berarti ini bisa jadi ...."

"Batu jatuh, binatang, sambaran petir, apa pun pokoknya."

Langkah Banda menjauhi bibir lembah, dan ia menghela napas lega.

Kakiku mengentak tanah di bawahnya beberapa kali, mencoba merasakan kekuatan bumi. Mataku mengamati satu per satu pohon di bibir jurang untuk mencari tambatan. Ini pasti akan jadi turunan sulit. Namun, ranting patah itu yang kami cari sejak berhari-hari lalu. Satu petunjuk yang bisa menguatkan harapan kami. Bukannya aku senang, justru hatiku kalut. Kalau memang itu jejak Adara, berarti dia jatuh sampai Sijeding. Dari sana, kalau dia masih kuat berjalan, dia bisa ke mana saja. Satu-satunya jalan untuk tahu, adalah turun melihatnya sendiri.

Petir menyambar dari kejauhan. Sepertinya malam akan kembali diselimuti badai. Lidahku berdecak dengan mata berkali-kali terpejam. Aku benar-benar membuang waktu berharga ikut rombongan Mbah Jali. Kalau saja aku ada di tempat ini lebih awal, ranting patah ini mungkin bisa ditemukan lebih awal pula.

"Aku turun besok," kataku tegas seolah aku berhak memutuskannya. Enggak ada yang menanggapi. Satu-satunya balasan berasal dari sambaran petir di atas kepala kami.

Semesta Adara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang