Rodomel sangat ramai, kebanyakan dari pengunjung adalah remaja dan pasangan muda. Cafe dengan nuansa merah gelap yang menenangkan ini bercorak kelopak mawar, merah gelap yang lembut, kuning dan cokelat pucat. Lampu-lampu tergantung di langit-langit cafe. Udara di dalam begitu sejuk, namun di luar tampak panas menyengat.
Jiyeon membalikkan halaman novel di tangannya, iced americano-nya sisa setengah, juga waffle rasa madu yang masih utuh di sebelah minumannya. Sekali lagi, ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, Lucas telat setengah jam dari yang dijanjikan pria itu. Tiga hari Lucas berada di Cina, dan kekasihnya itu memilih langsung menemui Jiyeon daripada istirahat sejenak di rumahnya selepas dari bandara.
Pintu kaca kafe terbuka, gemerincing lonceng yang sengaja di pasang di atas pintu tersebut menarik perhatian Jiyeon begitu pria tinggi dengan senyum menawannya menghampiri dengan terburu-buru.
"Maafkan aku membuatmu menunggu," ucapnya terlebih dahulu.
"Tidak apa-apa, kau mau pesan apa?"
Pria itu tidak langsung menjawab, matanya beralih pada waffle dan iced americano Jiyeon sebelum kembali menatap gadis di hadapannya. "Samakan saja denganmu," ujarnya.
Jiyeon mengangguk dan memanggil pelayan cafe, setelah memesankannya untuk Lucas, gadis itu menggeser novel ke sudut meja. Kedua lengannya bertumpu di atas meja, menahan atensinya secara penuh pada Lucas yang tengah memandangnya.
"Bagaimana keadaan ayahmu?"
"Sudah lebih baik," balasnya. Namun bibir itu kembali terbuka, hendak mengutarakan sesuatu sebelum tertutup rapat, tersenyum manis dan wajahnya tampak benar-benar kelelahan.
"Ada apa? Kau baik-baik saja?" tanya Jiyeon.
Lucas menghembuskan napas berat, tentu saja ia tidak baik-baik saja selama berada di Cina, begitu jauh dari gadisnya. Dan kini, rindu itu harus dilepaskan sebagaimana mestinya. Ia berdiri dan mendekati Jiyeon yang masih duduk tenang tanpa melepaskan tatapannya. Meraih tubuh itu dan memeluknya erat.
Rasanya begitu lega bisa kembali mendekap Jiyeon dan menjangkau gadis itu kapan saja ia ingin. Pria itu bisa lebih rileks dan mengendus leher hangat Jiyeon sebanyak mungkin.
"Lucas, orang-orang memperhatikan kita," ungkap Jiyeon mulai risih dengan tatapan pengunjung cafe.
"Aku tidak peduli."
Maka, Jiyeon membiarkan pria itu memeluknya selama yang Lucas mau. Dan Lucas baru saja melepaskannya saat si pelayan tadi datang dengan pesanan mereka. Wanita muda itu menata waffle dan minuman Lucas di atas meja. Bertanya apa ada yang Jiyeon inginkan sebelum kembali pergi saat mendapat gelengan dari Jiyeon.
Lucas langsung menyambar waffle itu, penerbangan yang nyaris memakan waktu tiga jam menbuatnya kelaparan meski sudah diganjal selama di pesawat. Tapi memang Lucas selalu merasa lapar.
"Jadi, ceritakan padaku apa saja yang kau lakukan selama tiga hari ini tanpa aku?" Lucas selesai dengan waffle-nya, membersihkan sudut bibirnya dengan tisu dan meraih iced americano-nya.
"Kau tahu persis kehidupanku, tidak ada yang berbeda setiap harinya," kilah Jiyeon. Faktanya, dua hari ia lewatkan dengan sesuatu yang teramat baru.
Rasa bersalah tidak akan meninggalkannya sebelum ia jujur pada Lucas dan mengakhiri hubungan mereka. Namun sesaat Jiyeon ragu, meski mereka berakhir dan ia menjelaskan semuanya pada Lucas, perasaan bersalah itu tetap akan bersamanya.
"Aku tidak bisa menghubungimu selagi di rumah sakit, bahkan aku hanya memiliki waktu untuk tidur tiga jam paling lama. Ibu sudah terlalu tua jika bersikeras untuk terjaga sepanjang malam menemani ayah," jelas Lucas penuh penyesalan.