Lembar: keadilan.
《⚖》
Jepara, 1939
Makan malam yang sederhana ditemani lampu minyak tanah, tak membuat senyuman anggota keluarga yang terdiri atas tiga bersaudara dan sepasang suami istri tersebut luntur. Satu piring nasi dingin dan sejumput garam adalah makanan ngenyangkan serta nikmat untuk saat ini.
Sementara itu di luar gubuk kecil hujan terus menguyur dengan deras, terkadang beberapa kali kilat mewarnai langit gelap malam. Melalui gubuk kecil itu, sebuah keluarga terlindungi. Mungkin tak mewah, tapi tetap saja nyaman untuk berlindung, karena semua rumah adalah tempat sebaik-baiknya berlindung.
"Ajeng, mau ke mana kamu?" Wanita paruh baya yang berperan sebagai ibu di keluarga tersebut menghentikan kegiatan makannya, ketika melihat anak sulungnya bangkit dari duduk.
"Ajeng sudah kenyang, Bu. Ingin kembali ke kamar."
Tanpa ada sahutan lagi, gadis remaja bernama Ajeng tersebut melangkahkan kakinya ke kamar yang dihuni bersama kedua adik perempuannya. Ia terduduk di tikar pandan yang menjadi alas untuk tidur.
Sejenak, ia memegangi perutnya. "Aku masih lapar, tapi tidak tega bila melihat kedua orang tuaku tidak makan dengan kenyang."
Sungguh, kebiasaan Ajeng memakan sedikit makanan untuk membuat keluarganya kenyang adalah sebuah hal yang tak aneh lagi. Keadaan yang membuatnya harus pintar menyembunyikan keinginan.
"Mba Ajeng! Mba Ajeng!" Kedua adik perempuan Ajeng terburu-buru memasuki kamar sembari berseru panik.
Ajeng bangkit dari duduknya, "Ada apa?"
"Ibu sama Bapak sedang berdebat dengan orang berkulit putih itu!" jawab anak seusia sembilan tahun itu, dia Ima sang anak kedua.
"Kamu serius?!" Langkah cepat Ajeng mencari keberadaan orang tuanya, diikuti ke dua adiknya.
Benar saja, mereka tengah berdebat di luar gubuk. Langkah Ajeng untuk membantu orang tuanya seketika terhenti, di saat matanya yang sedang mengintip jendela melihat orang berkulit putih tersebut meninju sang bapak hingga tak sadarkan diri dan hidungnya bersimbah dasar.
"Bapak!" jeritan sang ibu yang ada di sana membuat Ajeng seketika memeluk kedua adiknya agar tidak mendengar.
"Ayo kita kembali ke kamar," bisik Ajeng. Tanpa banyak tanya kedua adiknya menurut.
Ajeng tengah dilanda kebimbangan dan rasa takut. Ia ingin menolong orang tuanya di sana, tapi kedua adiknya pun tak boleh ia biarkan menyaksikan dan mengetahui hal ini, mereka masih terlalu belia untuk memahami semuanya.
"Mba ada apa? Kenapa kita ke kamar? Kita gak menolong ibu dan bapak?" Si bungsu—Putri—terus bertanya.
"Dengarkan baik-baik. Biar Mba yang menolong ibu dan bapak. Kalian pergilah dari sini melalui pintu belakang. Cepat!" Ajeng melirik Ima untuk menjadi komando bagi adiknya.
Ima sebenarnya masih bingung, tapi ia pun menuruti perintah sang kakak dengan segera menarik tangan Putri untuk pergi dari sana.
Ajeng sedikit bernafas lega, setidaknya kedua adiknya itu sudah paham akan pergi ke mana mereka jika ia menyuruh pergi. Mereka berdua aman. Kini, Ajeng akan melihat situasi di depan gubuk.
Gadis itu panik dan takut ketika melihat sang ibu dibawa paksa oleh ke dua orang berkulit putih tersebut. "Ibu! Ibu jangan pergi!" Ajeng berlari mengejar, tapi andong yang membawa sang ibu sudah pergi.
Ajeng kembali ke depan gubuk dengan menangis, dan tangisan itu semakin kencang ketika ia bersimpuh di samping raga sang bapak yang tak lagi hidup.
"Bapak! Jangan tinggalkan Ajeng!" jerit Ajeng.
Ajeng muda menangis tersedu-sedu bersamaan derai hujan yang sudah reda. Mengapa hujan tak ikut bersedih bersamanya?
Malam ini, kedua orang yang dicintainya telah pergi. Ketidakadilan macam apa yang Ajeng dapatkan ini? Ia dan keluarganya selalu saja ditekan oleh orang-orang biadab itu, hingga kini mereka mengambil kedua orang yang selalu menumbuhkan bahagia meski hal yang sederhana di dalam keluarga.
《⚖》
"KUUCAPKAN SELAMAT DATANG DI LORONG WAKTU. SEJARAH AKAN MEMBAWAMU PADA HAL YANG BARU."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomanceBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...