Hari ini kicauan burung terdengar ramai, mungkin itu merupakan pertanda bahwa alam sedang gembira. Tergambar pula pada langit yang cerah dan angin yang sejuk. Keadaan alam berbanding terbalik dengan keadaan batin Ajeng. Gadis itu terus terdiam dengan memegang teguh kata sabar ketika bisikan-bisikan serta ujaran kebencian menyerangnya.
Bahkan para jongos di kediaman keluarga Jouse pun ikut membicarakan aksi Ajeng dalam menyebarkan kabar di koran. Hanya dengan satu langkah awal, orang-orang seperti ingin membunuh Ajeng dan orang terdekatnya secara perlahan.
"Kamu itu harus bersyukur, Nduk. Hidupmu sudah enak di sini, masih bisa makan dan minum yang layak. Jangan pula jadi banyak tingkah seperti ini."
"Apa terima kasihmu pada nyonya dan tuan? Apa dengan memberi mereka masalah ini? Tak tahu malu."
"Jangan merasa tinggi. Selama para petinggi negara belum berhasil mengusir para bedebah, keadilan itu hanya sekedar kata."
Ajeng memejamkan matanya dengan tangan mengepal, ia tidak boleh marah karena mereka lebih tua darinya. Ajeng yang tengah memisahkan beras dan gabah seketika menghentikan kegiatannya, ia menoleh pada dua orang jongos yang tengah membersihkan pekakas kebun.
"Apa kalian ingin terus berada dalam situasi seperti ini?" tanya Ajeng.
Salah satu jongos bernama Nimran menyahut, "pertanyaan bodoh. Tentu saja tidak."
"Jika terus diam apa akan ada perubahan? Sampai kapan mengandalkan perjuangan para petinggi negara itu dan terus menjadi beban mereka?" Pertanyaan Ajeng kali ini mampu membuat mereka terdiam. Ajeng pun melanjutkan kegiatannya.
Ajeng pikir mereka tak akan menyahut lagi, tapi ternyata Nimran kembali berucap. "Suara rakyat seperti kita tidak akan berpengaruh pada para penjajah itu, cetat baik-baik."
"Pesimis. Belum berjuang sudah menebak-nebak," cetus Ajeng, gadis itu menyudahi kegiatan memilah beras dan kembali ke dalam dapur.
Ternyata di daun pintu menuju dapur ada Hans yang berdiri dan mendengar semua pembicaraan tadi. Pria Belanda itu tersenyum seolah menyambut baik keberanian Ajeng tadi.
"Sejak kapan kamu di sana?" tanya Ajeng.
"Kamu baik-baik saja, Ajeng?" Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Hans malah bertanya balik.
"Tentu." Ajeng memberi kode pada Hans untuk bergeser karena ia harus ke dalam untuk menyimpan beras-beras ini ke tempatnya.
"Kalau begitu, kapan kamu akan menulis berita itu lagi? Pihak redaksi menantikannya," ujar Hans seraya duduk di kursi tempat para jongos dan Ajeng makan.
Ajeng menatap Hans sembari mengeluarkan nafas pelan. "Aku harus bertemu Defras terlebih dahulu untuk melengkapi beritanya. Namun, aku bingung bagaimana caranya aku ke sana."
Sekarang, Ajeng bekerja sama dengan Defras untuk mengetahui situasi di rumah bordil. Sebenarnya Ajeng tak ingin melibatkan Defras, tapi pria itu memaksa ingin ambil alih dalam perjuangan Ajeng.
"Kalau begitu biarkan saya yang menemui Defras. Mereka tak akan curiga," kata Hans.
"Kamu yakin, Hans?"
"Tentu saja, Nona." Hans tersenyum begitu tulus.
《⚖》
Cerahnya langit hanya berlaku sesaat saja, sebab sore ini langit menjadi murung. Entah kesedihan apa yang tiba-tiba merubahnya. Semesta tak akan pernah pandai menyembunyikan hujan yang memang ditakdirkan turun ke bumi.
Melihat tanda-tanda hujan akan turun, Ajeng mempercepat langkahnya. Alasan kenapa ia ada di luar rumah saat ini ialah membeli bahan dapur yang sangat dibutuhkan untuk makan malam. Bila saja ada Hans, pasti pria itu akan menyuruh Ajeng pergi bersama Jongos, tapi sore ini Hans harus menemui Defras di markasnya.
Ajeng mengusap-ngusap tangannya karena merasa dingin ketika angin mulai berembus kencang. Orang-orang begitu buru-buru untuk sampai di rumah, sehingga kini kebun-kebun di sisi jalan yang biasa ramai menjadi sunyi.
Langkah Ajeng menjadi pelan saat telinganya tak sengaja mendengar suara langkah kuda. Gadis itu menghentikan langkah dan membalikan badan, benar beberapa meter di belakang ada seorang pria menunggangi kuda. Perasaan Ajeng menjadi tidak enak. Dia pun sedikit berlari, akan tetapi suara kuda itu semakin mendekat.
"Aaa!" jerit Ajeng karena sepasang tangan dengan cepat dan kuat menariknya ke atas kuda. Nafas Ajeng tersengal-sengal, ia melihat sepasang mata dari si penunggang kuda.
"Siapa kau?! Turun saya!" teriak Ajeng penuh ketakutan sebab kuda itu semakin kencang meninggalkan perkampungan.
Pria si penunggang kuda tetap diam, ia memakai penutup wajah yang hanya memperlihatkan matanya. Ajeng meronta dengan menarik serta memukul baju si penunggang. "Lepaskan saya! Kau ingin membawa saya ke mana?!"
"Tolong!"
"Tolong!"
"Tol—"
Teriakan minta tolong ketiga harus gagal karena si penunggang membungkam mulut seta hidung Ajeng dengan sebuah kain yang sepertinya ada obat biusnya. Ajeng pun seketika tak sadarkan diri. Sementara itu kuda semakin kencang menuju sebuah tempat gelap yang hanya dipenuhi pepohonan.
《⚖》
Ini sebelum konflik jadi maaf bila bab nya terlalu pendek. Selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomanceBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...