2|Informasi

681 87 2
                                    

"Ajeng, sedang apa kamu di sini?" Pertanyan itu terlontar dengan nada tinggi. Alhasil membuat Ajeng beserta Hans yang sedang berfokus pada lembaran bacaan kini berbarengan menoleh.

"Eliza. Sejak kapan kamu datang?" Hans balik menanyai perempuan Belanda yang kini menghampiri dengan terus menatap Ajeng tidak suka.

"Aku baru saja datang," jawab Eliza. Lalu duduk di samping Hans. "Apa kamu lupa, kalau kita mempunyai janji makan malam di luar."

Hans mengembuskan nafas bersalah. "Astaga Eliza, aku lupa. Tapi, sekarang aku sedang mengajar Ajeng belajar."

"Bukankah kamu menolak belajar di sekolah? Lalu kenapa sekarang mau belajar privat bersama Hans?" Eliza melayangkan pertanyaan yang membuat Ajeng bingung sendiri menjawabnya.

"Aku yang memaksanya, Eliz," sahut Hans. "Sudahlah, sepertinya kita tidak jadi makan malamnya. Maaf, ya."

Eliza seketika bangkit dengan wajah emosi. "Apa maksudmu, Hans?"

Sebelum terjadinya pertengkaran antara Eliza san Hans yang sudah berteman lama, akhirnya Ajeng bersuara. Meski ia sedikit takut bila harus berbicara pada sosok Eliza.

"Hans, sepertinya kegiatan belajar ini disudahi dahulu. Aku lelah." ujar Ajeng sembari membereskan buku dan lembaran yang diberikan Hans padanya.

"Yasudah. Kita lanjut besok malam, ya. Selamat istirahat."

Ajeng mengangguk, dan berlalu dari sana dengan mendekap buku serta lembaran kertas. Kini, tinggal menyisakan Eliza dan Hans.

Eliza berdecak. "Aku tidak percaya, kamu masih membiarkan gadis inlander itu menyebut namamu secara langsung."

Hans tidak menanggapi ucapan tersebut. Meski sudah memberitahu alasannya, Eliza tetaplah tidak mempercayai. "Tunggu aku bersiap-siap. Kita jadi makan malam di luar."

Hati Eliza bersorak ria penuh kemenangan. Sudah lama ia menantikan waktu berdua seperti ini. Meski masih terjebak dengan kata pertemanan, Eliza tetap bersemangat merubah kata tersebut menjadi sebuah kata pasangan.

《⚖》

Siang ini Ajeng dibuat kebingungan dengan kehadiran seseorang yang menurutnya sangat tidak tepat. Orang itu adalah Eliza. Ya, perempuan netherland tersebut datang ke kediaman keluarga Jouse pada saat keluarga Jouse sedang tidak ada di rumah dikarenakan kesibukan mereka di siang hari.

"Anda ingin menemui siapa, Nona Eliza?" tanya Ajeng dengan sopan, lalu menghidangkan teh mint di meja taman samping rumah keluarga Jouse. Eliza tidak biasanya mau duduk di ruangan terbuka seperti ini, tapi sekarang berbanding terbalik.

"Jika ingin menemui Hans atau Nyonya Anne, sebaiknya menemui di sore hari. Mereka sedang tidak ada di rumah," jelas Ajeng.

"Saya ingin menemuimu. Ada informasi yang ingin saya sampaikan." Eliza berkata setelah menyesap teh yang tadi dihidangkan.

Ajeng mengerutkan dahi. "Apa itu?" Ia bergerak untuk duduk di bangku lainnya. Namun Eliza menyuruh berhenti. Ajeng menegakan tubuhnya kembali.

"Kamu duduk di bawah. Rumputnya bersih, kok."

Inilah perlakuan Eliza, seperti para orang berkulit putih lainnya. Ajeng sudah terbiasa, dan harusnya ia pun ingat soal sikap Eliza ini. Gadis berkain jarik itu kemudian duduk di rerumputan dengan anggunnya.

"Ada informasi apa, Nona?"

"Soal ibumu. Saya tahu kamu mencari betul keberadaan ibumu sekarang, betul?"

Ajeng mengangguk dengan kaku. Rasa penasarannya sangat tak terkendali bila mendengar prihal ibunya yang sejak lama pergi dengan diculik oleh para serdadu.

"Saya tahu keberadaan ibumu."

Sontak saja membuat Ajeng menyahut cepat. "Dimana dia, Nona? Beritahukan aku. Aku mohon."

Eliza menatap Ajeng dengan puas. "Saya akan memberitahukannya, dengan sebuah syarat."

"Syarat apa? Katakan!"

"Kamu harus pergi selamanya dari keluarga Jouse, termasuk Hans. Bagaimana?"

Ajeng terdiam. Syarat yang sangat sulit ia putuskan. Tapi sepertinya Eliza di sana tidak membiarkan Ajeng berpikir lama. Wanita itu bangkit dari duduknya. "Saya tidak punya banyak waktu untuk kamu. Cepat putuskan sekarang."

Satu detik, dua detik, dan tiga detik. Ajeng membuka suaranya, dengan yakin ia memutuskan. "Aku menerima syarat itu."

Eliza tersenyum puas. Ia terduduk kembali dan bersiap menjelaskan. "Saya mempunyai teman dekat seorang prajurit, kebetulan dia sering berada di camp rumah bordil. Dan di sana aku mengetahui melalui temanku, kalau ibumu ada di sana."

Hati Ajeng bagai tersobek begitu cepat, nafasnya tersentak beberapa saat. Kenyataan ini begitu sangat menyakiti hatinya. Sang ibu yang ia sayangi kini harus menjadi penghuni rumah bordil, tempat para budak sek tinggal. Begitu tega para serdadu tersebut. Ajeng akan selalu mengutuk mereka di setiap langkahnya.

"Ibu." Ajeng melirih dengan tangisan yang tak terbendung. Bayangannya mengenai penderitaan sang ibu begitu tampak jelas di pikiran.

"Sudahlah, saya kesihan padamu. Oleh karena itu, saya akan membantumu ke camp tersebut untuk menyelamatkan ibumu. Mau?"

Ajeng menatap Eliza seketika. "Aku mau! Aku sangat berterima kasih padamu, Nona Eliza."

"Nanti akan saya kabari lagi. Sekarang biarkan saya pergi." Eliza melenggang dari sana.

Meninggalkan Ajeng dengan segala perasaan dan bayangan mengerikan mengenai sang ibu. Ajeng menangis begitu lirih, ia tertunduk begitu dalam. Agar suara tangisannya teredam.

《⚖》

15, Juli 2021
Tertulis dari masa depan.

Nona Inlander [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang