Mental adalah hal yang paling pertama hancur, setelah itu hati yang kian keras karena dipenuhi lapisan luka. Pada satu malam, hanya kabar buruk yang Ajeng dengar. Pasokan ai matanya sudah mengering, namun batinnya terus menjerit kesakitan. Tangan-tangan yang merangkulnya sejak lama, satu persatu terlepas.
Defras, tersisa pria itu yang senantiasa memberikan rasa aman serta cela untuk Ajeng bernafas di antara semua kesedihan. Defras memberitahu Ajeng segala hal yang terjadi, termasuk penembakan pada keluarga Jouse. Ajeng marah akan dirinya sendiri, sehingga kini gadis itu menjadi sering melamunkan semua penyelasannya.
Malam itu, setelah memberi pemakaman yang layak pada Hans. Defras mengajak Ajeng ke sebuah tempat, di mana tidak ada aktivitas manusia. Tak jauh dari danau, Defras membangun sebuah gubuk yang layak ditinggali. Benar-benar hasil tangan Defras. Ajeng sampai bingung, mengapa Defras melakukan semua ini.
Pertanyaan Ajeng belum terjawab sampai sudah hampir tiga hari mereka berdua tinggal di sana. Bukan di dalam gubuk berdua, tapi hanya Ajeng yang tidur di dalam karena Defras menegaskan bahwa dirinya lah yang akan tidur di luar di atas bangku panjang yang terbuat dari bambu.
Setiap pagi, cahaya matahari selalu menerobos di antara cela-cela gubuk. Sehingga Ajeng lebih mudah terbangun. Setiap bagun dari tidur sebenarnya tubuh Ajeng masih terasa nyeri, tapi ia tak boleh manja tidur seharian. Karena ada dua perut yang harus diisi makanan.
Ajeng tertatih menggunakan tongkat yang dibuatkan Defras untuk membantunya berjalan. Ketika pintu digeser, udara yang sejuk seketika membelai wajah Ajeng. Gadis itu melangkah keluar dan melihat ke arah bangku ternyata Defras sudah tidak ada di sana.
"Ke mana dia?" gumam Ajeng, ia memutuskan duduk di bangku tersebut seraya celingak-celinguk mencari Defras.
Ajeng baru tersadar, Defras selalu pergi pagi-pagi untuk ke markasnya. Kita tidak boleh lupa, gelar prajurit masih dipegang Defras. Ajeng terdiam sesaat sembari meratapi nasibnya yang hanya bisa menyusahkan orang.
Tanpa sadar setengah jam berlalu, Ajeng masih terdiam dengan pikiran yang berkelahi. Gadis itu sama sekali tidak pindah dari tempatnya.
"Lagi-lagi kamu selalu melamun, Ajeng."
Ucapan seseorang membuat gadis itu tersentak dan menoleh ke sumber suara. Ternyata itu Defras yang baru kembali dengan tangan memegang kantung plastik.
"Sejak kapan duduk di sini dan melamun?" tanya Defras, seraya ikut duduk.
Ajeng tersenyum tipis. "Sejak kamu pergi."
"Sudah makan?"
Ajeng menggeleng. Defras lantas membuka bungkusan plastik tersebut yang ternyata isinya nasi bungkus lengkap dengan lauk. "Makanlah, saya membelinya ketika pulang."
"Aku baru saja akan mencari bahan makanan di dekat danau. Kamu sendiri sudah makan?" tanya Ajeng.
Defras tersenyum. "Sudah. Kamu makan saja. Ini untuk mengobati rindu kamu terhadap makanan di warung."
"Bisa saja," ucap Ajeng dengan senyuman di akhir kalimat. Ia kemudian mulai menyantapnya.
"Saya suka ketika kamu tersenyum. Jangan terus melamun, ya. Saya khawatir." Defras begitu tulus dalam mengucapkannya. Ia benar-benar ingin Ajeng pulih dari keterpurukannya.
"Def, aku boleh bertanya?" Ajeng memberhentikan suapannya.
Defras menoleh, "apa?"
"Sampai kapan kita di sini? Kamu ingin aku lari dari masalah?"
Seketika Defras terdiam, pria itu mengelum bibirnya seolah memikirkan jawaban yang sesuai. "Bukan lari, tapi menyiapkan diri. Hanya butuh waktu tujuh hari untuk saya memastikan keamananmu di sana."
Ajeng sedikit paham. Meski Defras tak memberitahu secara detail. Mengasingkan diri dari masyarakat mungkin langkah terbaik untuk saat ini. Mengendalikan amarah dan dendam di tengah desas-desus masyarakat bukanlah hal yang mudah.
"Dan setelah tujuh hari itu, saya akan mengundurkan diri dari posisi saya sebagai prajurit dan kembali ke Belanda," lanjut Defras.
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Defras, membuat Ajeng ikut bahagia karena pria itu akan berkumpul kembali bersama keluarganya. "Keputusan bagus. Kamu tak akan lagi mendapatkan masalah serta penderitaan di negeri ini. Dan mungkin ide untuk aku tinggal di gubuk ini selamanya akan lebih baik."
Defras mengerutkan dahi, heran dengan keputusan Ajeng yang berubah. "Kamu tak akan tinggal di sinu selamanya. Saya tidak akan membiarkan hal itu."
"Kenapa tidak?"
Senyuman Defras terbit begitu manis dan lebar. "Karena saya akan pulang ke Belanda bersama kamu."
Kini makanan yang baru setengah disantap seolah tidak mendapat perhatian dari Ajeng. Karena Ajeng lebih tertarik pada perkataan Defras tadi, sangat menggelitik menurut Ajeng. Sampai-sampai gadis itu tertawa renyah, dan Defras menatapnya dengan heran.
"Kenapa tertawa?" tanya Defras.
"Berhentilah bercanda, Defras. Gadis miskin seperti aku mana bisa keluar negeri. Akan sulit." Ajeng menggelengkan kepala, ia realistis saja. Toh, negaranya belum merdeka dan tentu fasilitas seperti itu akan selalu dipersulit untuk kaum pribumi miskin seperti Ajeng.
Defras tersenyum kembali. "Tidak Ajeng. Tidak akan sulit, saya bisa membawamu ke negeri saya. Kamu akan melanjutkan pendidikan di sana, dan menjadi teman hidup saya selamanya."
Deg. Ajeng membisu di tempat setelah mendengar kalimat 'menjadi teman hidup saya selamanya' dari mulut Defras. Teman hidup seperti apa? Ajeng berharap ia hanya salah dengar.
《⚖》
"Kau mulai berani menolak, hah?!"
"Arrgh." Ujung sepatu yang dikenakan wanita itu dengan keras mengenai perut Rajini.
Rajinu menggeram kesakitan, sebab tendangan itu tidak hanya sekali mengenai perutnya. Gadis itu kemudian melontarkan tatapan penuh amarah pada wanita di hadapannya yang terus memaki. "Tutup mulut kotormu, Amora!"
Pertama kalinya Rajini berseru sembari menyebut nama sang nyonya yang sejak dulu ia percaya. Pandangan gadis itu mengenai Amora seketika berubah, ketika rencana Amora gagal sepenuhnya.
"Apa itu? Kau menyebut nama saya? Kurang ajar sekali." Kini tangan Amora dengan ringan menampar pipi mulus Rajini.
Rajini tersenyum miring, seraya menunjuk wajah Amora. "Rasa takutmu sangat terlihat di wajahmu. Dengan menjadikanku musuh, kau akan kalah Amora."
"Apa kuasamu di sini, tanpa adanya saya?!" Amora tertawa meremehkan.
"Berhentilah meremehkan orang yang sudah terpengaruh dengan dendam!" Setelah mengucapkan hal itu, Rajini lantas pergi dengan dagu terangkat.
Dulu, mendapat posisi kepercayaan Amora adalah sebuah keuntungan. Sekarang, hal itu berubah menjadi sebuah kutukan. Amora bukanlah orang yang akan sampai akhir percaya pada kaum pribumi, termasuk Rajini juga.
Pada suatu malam, Rajini untuk pertama kalinya meninggalkan kamar seolah mengacuhkan para tamu-tamu penting yang harus ia penuhi hasratnya. Gadis itu pergi ke belakang rumah bordil yang gelap gulita dan sangat tercium bau amis, karena di sana tempat pembuangan janin muda para gundik.
Rajini memicingkan mata ketika melihat sosok yang akan ia temui sudah datang terlebih dahulu.
"Langsung saja. Apa yang harus saya lakukan untuk menjamin kebebasan saya?" Itulah tujuan Rajini ke mari.
"Melakukan kesepakatan. Terkadang kesepakatan di dalam kandang musuh itu sangat menguntungkan," kata pria itu dengan sesekali menyesap tembakau yang menyala.
《⚖》
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomanceBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...