Pagi hari adalah waktu yang cocok untuk menikmati teh hijau. Aromanya begitu hangat ketika masuk ke dalam ronggah hidung. Sembari berpangku kaki dan membaca koran, adalah sebuah kenikmatan di sela-sela kerunyaman negeri.
Berita dalam koran hari ini dalam sekejap merubah suasana hatinya. Ia membanting koran tersebut pada seorang wanita yang baru saja datang membawa teh hijau lain.
"Apa ini? Ada apa denganmu?" Tampak wanita itu berseru marah sembari meletakkan teh miliknya di meja bundar.
"Itu ulahmu!" Pria itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah koran yang sudah tergeletak di lantai.
Wanita itu terdiam dengan sedikit melirik judul berita di koran. "Lalu kenapa? Memang itu pantas, kok." Dia menatap berani pada pria di hadapabnya.
"Ada yang lebih pantas dari itu, yaitu kamu mengakui segalanya. Ingatlah jika keluargamu tahu akan hal ini, kamu adalah harga diri mereka."
"Shit!" gumam wanita itu.
《⚖》
Sidang ke dua sedang terlaksana. Ajeng yang semakin terpojok seolah pasrah, karena tidak bisa menghadirkan bukti kuat. Ia sedih bukan karena hukuman yang nantinya diberikan, tetapi ia sedih karena melanggar janjinya sendiri untuk tidak menyerah. Ajeng pun hanya mampu terdiam ketika hakim memulai persidangan.
"Kemarin saya memerintahkan anda Ajeng Gayatri untuk membawa bukti saksi untuk menguatkan alasan anda berada di rumah bordil. Namun, sekarang sepertinya anda tidak menghadirkannya. Maka dengan itu, alasan anda tersebut—"
"Tunggu tuan hakim!"
Seluruh orang termasuk Ajeng teralihkan pandangannya ke belakang, di mana ada pria dan wanita Belanda yang baru menuruni andong.
"Hans?" Betapa terkejutnya Ajeng kala itu. Pria yang dinantinya telah datang.
Kedatangan Hans membuat para pengawas sidang langsung mencegahnya, dan hal itu langsung ditepis Hans. "Saya membawa bukti saksi untuk menguatkan pembelaan wanita ini." Ia menunjuk Ajeng dengan kelima jemarinya, sangat sopan.
Mata Ajeng berkaca-kaca, ia sungguh bersyukur Hans datang bersama Eliza. Kebingungan Ajeng mengenai kehadiran Hans tersebut langsung digantikan dengan rasa lega.
Hans menarik pelan Eliza agar berdiri di sampingnya. "Dia Eliza, orang yang telah menjebak Ajeng."
Hakim pun menyuruh Eliza untuk duduk di kursi di dekat Ajeng yang tengah duduk di lantai. Sementara Hans duduk di pembela.
"Apa benar nona Eliza menjebak Ajeng Gayatri ke rumah bordil?" tanya hakim.
Eliza melirik sinis ke arah Ajeng, lalu menjawabnya. "Ya, itu benar."
Hans tersenyum puas, dan para kubu pelapor saling berbisik seolah menyiapkan serangan lain.
"Dengan dalih apa anda menjebak Ajeng Gayatri?"
"Saya pura-pura tahu akan informasi ibunya yang beberapa tahun lalu menghilang. Saya mengatakan padanya kalau ibunya berada di rumah bordil tersebut, dan Ajeng pun percaya," jelas Eliza.
"Ibumu menghilang karena apa?" Kini pertanyaan hakim sangat di luar topik, Ajeng menatap tak suka.
"Maaf, tuan. Pertanyaan itu tidak ada kaitannya dengan kasus ini," ujar Ajeng secara tidak langsung menolak menjawab.
"Kenapa anda tidak bisa menjawab saja? Atau justru ada hal lain yang kamu sembunyikan?"
Suara warga semakin rusuh ikut memanaskan suasana. Ajeng tertunduk penuh rasa sesak, ia tak bisa bila harus menguliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomanceBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...