Suara jangkrik dan tangisan seorang pria saat ini seolah bersahut-sahut. Kejadian beberapa jam yang lalu membuat siapa saja tak akan menyangka. Tujuh jasad orang-orang yang menjadi korban dan empat jasad si pelaku telah dimakamkan di halaman belakang rumah. Dua orang pria yang selamat melakukan pemakaman tersebut secara layak. Pakaian keduanya masih bersimbah darah akan jejak teror.
Hans bersimpuh di hadapan makam ketujuh orang terdekatnya yang gugur. Anne, Jouse, Eliza, dua maid, dan dua jongos adalah bukti keegoisan seorang manusia.
"Lebih baik, kau hubungi keluarga Eliza dan jelaskan semua ini," ucap Defras yang ikut menjadi saksi atas kejadian tersebut.
"Saya sudah menghubunginya. Keluarga Eliza sedang ada di Belanda, mereka perlu waktu untuk memindahkan makam Eliza ke negeri asalnya," jelas Hans.
Defras berjongkok, "sekarang apakah kau akan ikut mencari keberadaan Ajeng?"
"Kau sudah tahu di mana dia?"
"Ya. Saya kemari memang untuk memberitahu itu, tapi malah harus menghadapi kejadian ini."
Hans bangkit berdiri, diikuti Defras. Pria itu mengembuskan nafas dengan yakin. "Saya akan ikut mencari Ajeng, hanya dia yang menjadi alasan saya untuk tetap di negeri ini."
Defras meninju pelan bahu Hans. "Baiklah. Mari kita ke hutan di daerah sini untuk mencari Ajeng." Lalu melangkah terlebih dahulu ke arah kudanya.
"Mereka membawa Ajeng ke hutan?" tanya Hans tak percaya.
Defras membalikan badan. "Ya. Tepat di tengah-tengah hutan."
《⚖》
Lecutan cambuk memecah suara hewan-hewan nokturnal di hutan. Menyisakan bercak merah yang perlahan mengeluarkan darah seger disekujur tubuh, dan air jatuh sebagai pereda dari sakit yang tak bisa dijelaskan. Raga itu sudah tak berdaya, namun mulutnya masih bungkam untuk berkata menyerah.
"Ingatlah jika kau mati, tak akan ada yang bisa menemukan ragamu dan tidak ada pemakaman yang layak. Maka menyerahlah dari sekarang." Sudah kesekian kalinya pria Belanda dengan kepala pelontos itu membujuk Ajeng.
"Tidak akan, Tuan," lirih Ajeng. Gadis itu tersenyum meremehkan kemampuan si pria dalam mengancam.
Baru hari kedua ia diculik oleh dua pria Belanda yang asing ini. Tapi rasanya beribu-ribu hari Ajeng mendapatkan cambukkan di setiap penolakannya. Ajeng tahu, penculikan ini adalah cara orang-orang yang berkuas di rumah bordil untuk membungkamnya.
Selama masih hidup, Ajeng tak akan lelah untuk berkata tidak. Meski rasa sakit karena cambukkan harus ia terima.
Pria berkepala plontos itu perlahan mendekat ke arah Ajeng, dan mengamati tubuh gadis itu yang hampir semuanya dipenuhi darah kering. Baju gadis itu terkoyak karena kerasnya lecutan.
"Saya harus memberikan cambukan di mana lagi? Tubuhmu sudah dipenuhi luka," katanya. Lalu ia menatap intesn bola mata Ajeng. "Apa saya harus melukai bola mata yang indah ini?"
Tanpa memikir banyak hal, Ajeng membalas perkataan tersebut dengan meludahi wajah pria tersebut.
"Sial!" Pria itu sempontan membanting kepala Ajeng dengan keras, sehingga bagian belakang kepala gadis itu terbentur pada batang pohon yang menjadi tempatnya diikat.
Ajeng meringis karena dirasa ada darah mengalir dibagian belakang kepalanya.
"Gadis gila! Berikan dia cambukan tanpa henti!" seru pria tersebut pada pria yang menjadi aljogo.
Ajeng memejamkan matanya ketika dengan cepat tubuhnya dicambuk keras. Perih ini bukan lagi menyakiti, tapi seolah sudah membunuh sel-sel dan otot tubuh. Ajeng tak menanti seseorang menyelamatkannya, sebab jika ini adalah jalannya menuju akhir maka Ajeng akan menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomanceBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...