20|Pengakuan

361 32 0
                                    

Sebelum senja, seperti biasa Defras selalu kembali dengan makanan yang dibawanya. Pria itu sangat senang bila pulang disambut dengan senyuman Ajeng. Sudah hari kelima gadis itu mengasingkan diri, semua dilakukan untuk kebaikan Ajeng sendiri.

"Ajeng, saya pulang." Defras berseru riang ketika sampai di depan gubuk. Tapi tak ada sahutan dari dalam, sehingga ia memutus masuk ke dalam.

"Ajeng kamu di mana? Saya bawa makanan untuk kamu." Lagi-lagi sunyi. Defras pun melangkahkan kakinya ke belakang gubuk siapa tahu gadis itu tengah memasak.

Akan tetapi tetap nihil, hingga Defras memutuskan mencari ke daerah danau. Seketika langkahnya melambat, dan senyumannya menyiratkan rasa lega karena berhasil menemukan sosok Ajeng di sana. Gadis itu dengan duduk di tepi danau sembari memeluk lututnya.

"Saya tadi mencarimu, ternyata ada di sini," ucap Defras sembari ikut duduk di hamparan rumput hijau.

Ajeng menoleh dan tersenyum tipis. "Aku sudah makan." Gadis itu seolah tahu apa tujuan Defras mencarinya.

"Baiklah. Makanannya dihangatkan untuk malam saja." Defras melempar tatapan ke arah danau yang sangat tenang air nya. "Sedang apa di sini?"

"Memikirkan perkataanmu," ujar Ajeng to the poin dan jujur.

Defras lantas menoleh. "Perkataan saya? Yang mana?"

"Ajeng, kamu akan melanjutkan pendidikan di sana sekaligus menjadi teman hidup saya selamanya. Teman hidup ...." Ajeng mengulang perkataan Defras kemarin. Di akhir kalimat ia tertawa ringan.

"Apa yang membuat kamu bingung?" tanya Defras, pria itu kini tak mengalihkan pandangannya pada hal lain.

"Kamu yakin akan menjadikan aku teman hidup?"

Defras mengedikan bahu. "Tentu saja. Kenapa harus ragu."

"Kamu mencintaku?" Ajeng mencari kejujuran di mata Defras saat ini.

"Iya. Biar saya jelaskan bagaimana itu bisa terjadi," ucap Defras terpotong. Pria itu bersiap bercerita sejujurnya. "Di antara banyaknya wanita pribumi yang dijadikan gundik, cuma pada kamu saya bisa melihat keberanian membara di setiap ucapanmu. Hanya karena keberanian itu yang membuat saya berani ikut memberontak."

"Lalu, di balik mata yang berani itu. Saya diperlihatkan kesedihan, trauma dan kasih sayang yang begitu tulus. Saya jatuh cinta melalui caramu menatap, berbicara, tertawa, bertingkah dan lainnya," sambung Defras.

"Apa itu sebuah gombalan?" tanya Ajeng sangat polos.

Defras tersenyum gemas. "Bukan. Itu adalah sebuah kejujuran."

Ajeng mengembuskan nafas berat. "Apa kamu pernah bertanya mengenai perasaanku?"

"Bagaimana perasaanmu?"

Gadis itu melempar tatapannya pada danau di depan, ia terdiam beberapa menit untuk mengingat janji yang terucap dulu. "Sebelum bertemu kamu. Saya memiliki janji terhadap diri saya sendiri, bahwa saya tidak akan menjatuh hati pada musuh negeri ini."

"Tapi, saya bukan musuh negeri ini. Saya mendukung keadilan di sini."

"Tetap saja, Def. Saya tidak bisa," lirih Ajeng.

Raut Defras perlahan berubah menjadi dingin, mungkin saja ada rasa sakit menerima penolakan tersebut. "Kamu mengatakan itu, karena hatimu telah terlebih dahulu jatuh pada Hans?"

Mendengar pernyataan itu membuat Ajeng menatap tak percaya. Bagaimana bisa Defras menyimpulkannya demikian. "Ini tidak ada hubungannya dengan Hans."

"Di dalam pertemanan antara pria dan wanita sangat mustahil bila tidak berakhir dengan perasaan. Di saat—"

"Cukup, Def! Hans adalah keluarga untukku. Jika kamu beranggapan seperti tadi, sungguh kamu sangat salah besar," ujar Ajeng, gadis itu merasa heran dengan tingkah Defras saat ini. Ia berdiri dan mengucapkan sesuatu, "jangan kamu jadikan Hans sebagai alasan sakit hatimu itu. Aku benar-benar tidak bisa menerima cinta siapapun."

"Bisakah kamu memikirkannya lagi? Sampai hari ketujuh? Jika jawabanmu masih sama, maka saya akan benar-benar pergi dari kehidupanmu, dan tidak akan menganggumu."

Langkah Ajeng terhenti ketika baru beberapa langkah ingin pergi dari sana. "Dengan satu syarat."

"Apa?"

"Kamu pun harus memikirkan bagaimana respon keluargamu atas keputusan itu." Lalu Ajeng melenggang pergi tanpa mendengar jawaban lain dari Defras.

《⚖》

Malam harinya Defras tidaklah istirahat, pria itu kembali pergi untuk menuntaskan segala urusannya. Tanpa ingin mengganggu Ajeng yang beristirahat di dalam gubuk, Defras pun lantas pergi diam-diam.

Setiap pulang dan pergi Defras selalu mengambil jalan yang berbeda. Semua demi keamanan. Sekitar beberapa kilo meter Defras tempuh dengan kudanya. Hingga di tempat yang dijanjikan, Pria itu menunggu seseorang.

Tak perlu waktu lama, orang itu datang dengan membawa lembaran-lembaran penting dan menyerahkannya pada Defras. "Ini ada pernyataan dan persetujuan cap jari dari mereka. Saya harap ini mampu membawa keberhasilan bagi kita."

Defras tersenyum senang. "Tentu saja. Tinggal satu lagi tugas terakhirmu. Esok pagi, saya akan memberikan lembaran ini pada pihak pengadil."

"Saya percaya padamu. Saya harus pergi, hati-hatilah." Orang itu pun melangkah pergi dengan penuh waspada.

Defras tersenyum puas pada lembaran-lembaran berharga ini. Tak sia-sia ia menerima kerja sama dengan wanita itu.

Setelah pertemuan rahasia itu, Defras tidak pulang lagi ke gubuk Ajeng. Ia memilih tidur di markas. Karena pagi-pagi sekali ia harus menghadap pada komandan prihal keputusannya mengundurkan diri dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai prajurit.

《⚖》

Nona Inlander [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang