12|Sebuah Langkah

327 46 2
                                    

Tujuh hari adalah waktu yang sangat cukup untuk Ajeng merasa terpuruk akan sebuah kematian. Dukungan keluarga Jouse membuat pemulihan Ajeng semakin cepat. Gadis itu sudah bisa melaksanakan arti kata ikhlas.

"Goedemorgen, Ajeng!"

Suara sapaan hangat di pagi hari menjadi magnet untuk bibir Ajeng terangkat ke atas membentuk senyuman.

"Kamu selalu memiliki kebiasaan untuk sarapan setelah nyonya Anne dan Tuan Jouse," ujar Ajeng sembari menghidangkan lauk yang masih panas ke hadapan Hans.

Pria itu tersenyum lebar sampai-sampai gigi putihnya terlihat. "Aku tidak suka terburu-buru, Nona."

"Sangat aneh mendengar kamu memanggilku dengan sebutan nona." Ajeng tertawa renyah di akhir kalimatnya. Ia duduk di kursi sebelah Hans.

"Tapi aku menyukainya." Hans mulai menyantap sarapannya. Melihat ekspresi Hans di suapan pertama dapat disimpulkan bahwa rasa makanannya tidaklah buruk. "Hem, aku begitu rindu dengan sihir di makananmu ini."

"Memang, selama aku tidak ada di sini. Kamu tidak bisa merasakan sihir di masakan para pembantu lain?" tanya Ajeng.

Hans menggeleng. "Racikan hasil tanganmu sangat berbeda. Serius."

Ajeng tersenyum memandangi Hans yang tampak lahap sekali. Pria itu sangat suka bila Ajeng menemaninya makan. Saat tengah menunggu Hans selesai makan, terlintas di pikiran Ajeng mengenai sesuatu hal. Ia lantas mengungkapkannya pada Hans.

"Hans, bagaimana kabar nona Eliza?"

Pria itu menoleh pada Ajeng. "Dia sedang menerima hukuman yang memang pantas didapatkan. Yaitu hukuman sosial. Karena pengakuannya itu, Eliza merasa malu untuk keluar rumah."

"Seharusnya tak perlu begitu," seloroh Ajeng.

"Lalu bagaimana?" tanya balik Hans, ia pun melanjutkan makannya.

"Setidaknya nona Eliza sudah berani mengaku dan membantuku dalam kebebasan. Artinya dia sudah menebus kesalahannya," ungkap gadis di samping Hans tersebut. "Dan bukankah noan Eliza adalah gadis yang kamu cintai, Hans?"

Seketika Hans menoleh, garpu yang ada di tangannya tak jadi ia angkat. "Apa jika seorang pria dan wanita berteman, hal itu akan dianggap mencintai?"

"Bisa saja."

"Sudahlah tak usah dibahas. Aku masih kesal pada Eliza." Hans melanjutkan aktivitas makannya.

Kali ini Ajeng mengalah, ia tak ingin perasaan Hans hari ini hancur.

《⚖》

"Kamu pernah bilang padaku tentang misimu untuk memberikan keadilan pada para gundik di rumah bordil. Lalu sekarang langkah awalmu mau bagaimana?" Hans memberikan pertanyaan di sela-sela kegiatannya menjadi pengajar pribadi untuk Ajeng.

Selepas pulang dari mengajar di sekolah, Hans memang akan mengajari Ajeng. Gadis itu juga tidak mengelak lagi dalam belajar, seperti dulu.

"Di langkah awal ini, apa kamu bisa membantuku, Hans?" Ajeng menatap Hans dengan pengharapan.

"Tentu. Apa yang bisa aku bantu?"

Ajeng meletakan pena yang tadi digunakannya, lalu menatap Hans penuh serius. "Aku ingin mempublikasikan pengalamanku selama di rumah bordil itu. Melalui surat kabar."

Kedua alis Hans menyatu. "Itu akan sangat berisiko, Ajeng."

"Sebuah perjuangan tentu harus melewati risiko, Hans," jawab Ajeng. "Aku ingin menarik simpati wanita pribumi tentang hak mereka, harga diri mereka. Jika tanpa dukungan ataupun rangkulan dari mereka, aku pasti akan kalah dalam perjuangan ini."

"Kamu kan tidak sendiri. Ada aku dan keluargaku yang akan membelamu," ungkap Hans, begitu enteng.

Ajeng menggeleng. "Berempat saja tidak cukup. Suara kita tidak akan terdengar. Sedangkan mereka yang menjadi lawan kita, begitu banyak jumlahnya."

"Terkadang kita harus realistis, Hans," lanjutnya.

"Hem. Baiklah, akan kucoba cari organisasi surat kabar yang mau mempublikasikan pengalamanmu itu." Akhirnya Hans ikut ambil alih dalam perjuangan ini.

Ajeng sangat senang. Ini adalah langkah awalnya dalam memperjuangkan hak serta harga diri wanita. Mungkin Ajeng bukanlah wanita terpelajar, bukan wanita berdarah biru, dam bukan pula anak dari saudagar kaya. Namun, Ajeng berdiri dalam perjuangan ini sebagai seorang gadis muda yang telah direnggut masa depan serta kebahagiaan sejak kecil.

《⚖》

Sudah hari ke sepuluh dalam pencarian organisasi surat kabar, tapi belum ada surat kesiapan mereka dalam ikut mempublikasikan. Dalam pencarian itu Ajeng tidak diam saja, ia berusaha menginfokan pengalaman buruknya di rumah bordil pada masyarakat sekitar rumah kediam Jouse.

Tentu tindakan Ajeng tak akan langsung mulus begitu saja. Karena setiap apa yang diucapkan Ajeng, hanya akan berbuah hinaan serta seruan ketidakpercayaan. Ia tak menanggapi hinaan tersebut, toh, memang itu yang harus Ajeng terima ketika melakukan hal berbeda.

Sore ini Ajeng baru saja pulang dari pasar, terlihat beberapa kali Ajeng berbaur dengan masyarakat lain yang tengah berkumpul. Bila ada cela, ia memasukkan pendapatnya mengenai orang-orang netherland.

"Bukankah majikanmu orang Belanda juga. Kenapa kamu ingin sekali membuat masalah dengan bangsa mereka."

"Bersyukur saja, nduk. Kamu masih bisa makan, masih memiliki pakaian yang layak. Di masa ini yang terpenting hanya itu."

Lagi dan lagi, Ajeng mendapat beberapa nasihat. Mereka seperti tak ingin ada perubahan. Kata pasrah menjadi penggambaran rakyat saat ini. Indonesia memerlukan jiwa-jiwa muda yang memperjuangkan perubahan.

Ajeng pulang tanpa mendapat dukungan dari masyarakat lagi. Gadis itu berusaha menghilangkan rasa lelahnya sebelum menjadi rasa menyerah.

"Tunggu, ada surat untuk tuan Hans."

Ajeng membalikan badannya, dan membuka kembali gerbang yang tadi ia tutup. Di sana ada petugas pos, beliau menyerahkan sebuah amplop coklat.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama. Perimis, mari, Mbak." Petugas pos itu pergi dengan sepeda ontelnya.

Ajeng memerhatikan amlop tersebut sejenak, kemudian menutup gerbang rumah kembali. Ia harus segera memberikan surat ini pada Hans yang mungkin sekarang sudah ada di rumah.

"Hans!" seru Ajeng ketika berada ruang tengah.

Tak butuh waktu lama, munculah Hans dari lantai atas. Dia menuruni anak tangga dan menghampiri Ajeng.

"Ada apa, Nona?" tanyanya dengan nada menggoda.

"Ini, ada surat untukmu. Petugas pos yang mengantarnya."

Amplop itu berpindah tangan ke pada Hans. Pria itu membaca suratnya, sementara Ajeng melangkah ke arah dapur untuk meletakan keranjang belanjanya.

"Ajeng, ada kabar gembira untukmu!"

Seruan Hans membuat langkah Ajeng terhenti, gadis itu membalikan badan dan melihat senyuman lebar di bibir Hans. "Apa?"

"Selamat. Langkah awalmu akan segera terlaksana." Hans menghampiri dan lantas memeluk Ajeng.

《⚖》

12, Desember 2021

Nona Inlander [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang