Lonceng berdenting menjadi alarm pengingat untuk pada siswa bersiap di kelasnya, karena pelajaran sebentar lagi dimulai. Salah satu sekolah dasar di sudut kota Jepara berhasil didirikan atas kesepakatan para pejabat maupun tuan-tuan Belanda, diharapkan sekolah tersebut mampu menjadi tempat para anak netherland menimba ilmu dasar.
Selain dihuni para tuan muda Belanda, sekolah itupun menerima anak-anak pribumi yang memiliki koneksi dan harta berlebih dari orang tuanya. Bagaimana dengan anak-anak pribumi yang tidak berkecukupan? Amat sangat mustahil mereka ada di sini. Layaknya Hollandsch Inlandsche School yang berada di Pontianak, sekolah ini pun sangat membedakan kasta serta derajat para anak pribumi dalam hal pendidikan.
Ini yang amat Hans sesali, ia berada di sekolah itu sudah lama sebagai tenaga pengajar namun ia tak mampu merubah aturan tidak adil seperti itu. Andai kata Hans keluar dari tanggung jawabnya di sekolah ini, maka Hans pun akan sangat tidak adil pada anak-anak netherland lain yang ingin menimba ilmu.
Hari ini Hans kembali menjalani aktivitasnya sebagai guru. Ia berjalan menuju kelas dan menyapa dengan hangat para muridnya.
"Goedemorgen studenten. Bagaimana pagi kalian hari ini?" Kadang kalanya Hans memakai bahasa Belanda dan juga bahasa Indonesia. Agar mereka terbiasa dengan kedua bahasa tersebut.
"Kami semua baik, Pak!" serentak mereka menjawab.
"Sepertinya Bapak lah yang sedang tidak baik-baik saja," cetus salah satu murid yang sangat memiliki kepercayaan diri tinggi, namanya Georgi.
"Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?" tanya Hans, ingin mengetahui alasan anak tersebut.
Georgi memangku dagunya dengan kedua tangan. "Saya mendengar pembicaraan orang tua saya pagi ini. Katanya anda melakukan pemberontakkan terhadap bangsa sendiri, karena seorang wanita. Oleh sebab itu, saya pikir anda pasti tidak baik-baik saja."
Hans seketika terdiam, matanya terpejam sesaat demi memikirkan jawaban untuk anak usia sepuluh tahun ini. Harusnya pembicaraan seperti itu tidak mereka dengar.
"Geo, kau tahu mendengarkan pembicaraan orang dewasa sangat tidak baik untuk anak seusiamu," jawab Hans, berusaha santai.
"Tapi saya tidak sengaja mendengarnya," elak Georgi.
Hans tersenyum. "Kau tahu, apa arti pemberontakkan yang sesungguhnya? Dan kalian apa ada yang tahu?"
Semua menggeleng sebagai jawaban. Hans menuju kursinya dan mulai menjelaskannya sesuai dengan pemahaman anak-anak. Hans tak menyangka bila berita yang dikeluarkan Ajeng kala itu sampai menyasar anak-anak netherland. Akan jadi apa bila mereka terus didokterin permusuhan. Namun, Hans juga yakin tak semua keluarga seperti itu, dengan membiarkan para keturunannya memiliki pikiran rendah.
《⚖》
Siang ini rumah kediaman keluarga Jouse sedang disibukan oleh persiapan jamuan untuk para teman-teman Anne dan Jouse. Setiap akhir bulan mereka memang selalu mengadakannya.
Seperti biasa Ajeng mempersiapkannya dengan semangat, dibantu dengan para maid lain ia menghabiskan waktu di dapur.
"Bisakah kau aduk sup ini? Aku ingin menemui nyonya Anne untuk menanyakan kapan makanan akan dihidangkan." Ajeng mengatakannya pada salah satu maid muda di sana.
Setelah tugasnya digantikan. Ajeng segera menuju ruang tengah di mana ada Anne dan Jouse di sana. Namun, langkah Ajeng menjadi lambat ketika tak sengaja mendengar tangisan dari wanita yang menjadi majikannya itu.
Anne menangis dalam dekapan Jouse. Apa yang terjadi?
"Aku tidak menyangka mereka akan melakukan ini pada kita. Apa mereka ingin mendengar kebenaran dari kita, sayang?" Perkataan Anne tak dengaja Ajeng dengar ketika gadis itu ingin kembali ke dapur, sehingga membuat Ajeng berdiri terpaku sekarang.
"Jangan kau pikirkan mereka. Siapa yang akan kita salahkan dalam hal ini? Ajeng? Itu sangat salah. Jika memang mereka benar-benar teman, mereka pasti akan menghadiri jamuan ini."
Degup jantung Ajeng seketika bergemuruh. Namanya disebutkan dalam perkataan Jouse. Lantas Ajeng dengan berani menghampiri Anne dan Jouse, mereka tampak bersikap seperti biasa seolah semua baik-baik saja.
"Ya, Ajeng ada apa?" tanya Anne.
"Apa ada masalah nyonya? Maaf sekali saya tak sengaja mendengar ucapan kalian tadi," ucap Ajeng dengan wajah tertunduk.
Anne dan Jouse saling menatap. Jouse lantas memberi pembelaan. "Ajeng kamu jangan merasa bersalah. Mereka tidak paham akan kebenarannya."
"Kebenaran tentang apa tuan? Saya belum memahami pembicaraan ini."
Anne lah yang menjawab untuk kali ini. "Teman saya dan Jouse sepakat tidak datang ke perjamuan hari ini, dikarenakan tidak ingin ikut digunjing karena keluarga Jouse mendukungmu membuat surat kabar itu."
Hati Ajeng dibuat tersentak mendengarnya. Raut wajahnya sangat bersalah. Sampai Ajeng terduduk lesu dan merapatkan kedua telapak tangannya di hadapan kedua majikannya.
Anne dan Jouse tampak kaget, mereka sampai dibuat kelabakan terhadap apa yang dilakukan Ajeng saat ini. "Ajeng kamu—"
"Saya memohon maaf tuan Jouse dan nyonya Anne. Karena saya kalian menjadi diasingkan, perjamuan ini pun harus gagal. Seharusnya saya tidak bertindak secepat itu, maafkan saya." Ajeng menangis penuh penyesalan. Anne dan Jouse bagaikan orang tua untuk Ajeng, mereka sudah sangat baik oleh karena itu tak seharusnya mereka ikut merasakan akibat dari tindakkan Ajeng.
"Ajeng kamu jangan seperti ini. Kamu tidak salah, Sayang. Bangun, ayo," ujar Anne seraya membantu Ajeng berdiri dan duduk di sampingnya. Wanita itu berusaha menenangkan Ajeng.
"Tindakkanmu tidak salah, jika kamu benar maka berjuang. Kami ikut dalam perjuanganmu, oleh sebab itu kita akan sama-sama melewati rintangannya. Ini hanya awal dari rintangan itu," kata Jouse penuh akan nasihat berarti. Tidak ada raut khawatir pada pria Belanda tersebut.
Ajeng kini berani menatap Anne dan Jouse. Gadis itu tampak lebih tenang meski matanya masih menyiratkan beban kesedihan. "Lalu bagaimana dengan jamuan hari ini? Semua makanan sudah siap."
"Kita bagikan pada para jongos dan tetangga, sisanya kita makan sama-sama." Anne sangat mudah memecahkan jalan keluarnya.
Ajeng tersenyum senang. Ia menghapus jejak air matanya sembari memandang kagum pada kedua majikkan yang sudah dianggap orang tua itu. "Aku harap, aku bisa setenang dan sepintar kalian."
Anne ikut tersenyum, kedua tangannya menggenggam erat jemari Ajeng. "Saya yang berharap mempunyai keberanian sepertimu. Kamu adalah putri saya yang berani."
《⚖》
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomantizmBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...