11|Terenggut dan Termiliki

424 46 0
                                    

"Aku begitu merindukan Ima dan Putri," ungkap Ajeng di saat perjalan pulang.

Hans tersenyum. "Mereka lebih merindukanmu."

"Sampai di sana, aku akan memeluk mereka berdua dan membuatkan makanan yang enak untuk keluarga Jouse!" Ajeng yang sekarang tampak lega, senyumannya begitu lepas. Selain kedua adiknya, Ajeng pun merindukan nyonya dan tuan majikannya yang mau menerimanya kembali di rumah mereka.

Kali ini Hans tidak menanggapi, ia terlalu terkesima dengan raut wajah Ajeng yang sudah lama tidak terlihat. Ajeng adalah gadis yang pantas mendapatkan bahagianya.

"Lalu, bagaimana bisa kamu dan nona Eliza datang ke persidangan tadi?" tanya Ajeng, memang sendari tadi ia ingin mengajukannya.

Hans mengalihkan pandangan ke pepohonan yang dilewati oleh andongnya. "Di surat kabar mereka menulis tentang dirimu dan kasus tersebut. Aku memang sudah curiga pada Eliza, sampai akhirnya dia mengaku dan pada saat itu juga aku mendesaknya untuk ikut bersamaku ke pengadilan memberikan kesaksian."

Ajeng menghembuskan nafas seraya mengangguk paham. "Tapi tindakkanmu ini tidak akan mencoreng nama baik keluargamu 'kan?"

Hans tersenyum dan menggeleng. "Aku dan keluargaku tidak peduli akan opini mereka nantinya."

Kembali Ajeng merasakan kebaikan hati dari Hans serta keluarganya. Tuhan masih baik pada Ajeng dengan menghadirkan mereka.

《⚖》

Kedua alis Ajeng bertaut, kakinya melangkah mengikuti Hans dengan ragu. Terbesit banyak pertanyaan di pikirannya, terlebih ketika Hans membawanya ke belakang banteng yang menjadi pembatas rumah kediaman Jouse.

"Hans, untuk apa kita ke mari?" Ajeng bertanya, ia pun mengajukan tanya pada dua orang yang ada di belakangnya. "Nyonya Anne, tuan Jouse, apa yang terjadi?"

"Ikuti saja, Hans. Kamu akan tahu maksudnya," jawab Anne. Ia dan sang suami mengikuti dari belakang.

Lalu, langkah Hans terhenti. Dan pria itu membalikan badan seraya menundukan kepala. Secara perlahan ia mulai berani menatap Ajeng. "Kamu merindukan kedua adikmu, kan?"

"Tentu. Aku akan menemuinya di kamarku."

Hans menggelengkan kepala. "Mereka tidak ada di sana. Mereka ada di sini." Pria itu bergeser dan memperlihatkan dua gunduk tanah dengan batu nisan di atasnya.

Ajeng melangkah ke arah batu nisan tersebut dengan perasaan tak percaya, ia ingin memastikan bahwa ini bukanlah lolucon yang dibuat Hans. Tapi ternyata benar, di sana tertulis nama Ima dan Putri.

Seluruh sel dan otot dalam tubuh Ajeng seolah mati. Gadis itu terjatuh di antara dua makam adiknya. "Kenapa ... Kenapa, Tuhan," lirih Ajeng. Ia sampai sedikit bersujud karena rasa sesak di dadanya.

Pada akhirnya Ajeng menangis penuh penyesalan, dan kecewa pada dirinya sendiri. Kabar kematian ini kembali terdengar, seperti Ajeng ditinggalkan seorang diri di negeri ini. Siapa yang akan menjadi alasannya untuk bertahan pada permainan takdir ini?

Baru saja Ajeng bangkit, kini harus terjatuh oleh kerikil yang mengaburkan pandangannya. Ini bukanlah keseruan dari sebuah perjuangan, tapi ini adalah saat pembuktian bahwa takdir tak selamanya akan kalah.

"Maafkan kami Ajeng. Ima dan Putri terlepas dari perhatian kami. Mereka nekat mencarimu ke tempat markas-markas prajurit, dan berakhir dengan seperti itu. Kami sangat bersalah, Ajeng," jelas Anne. Wanita itu menyeka air matanya dan lalu diberi genggaman penguat dari sang suami.

Ajeng menatap kedua majikannya dengan linang air mata. "Bukan kalian yang harus meminta maaf. Kalian tidak lah seperti mereka."

Ucapan Ajeng mampu menyentuh perasaan Anne. Wanita Belanda tersebut tak kuasa menahan tangisnya, ia memeluk sang suami dan menumpahkan segalanya. Anne adalah wanita yang perasa.

"Papa, bawa saja Mama masuk. Biarkan Hans yang menenangkan Ajeng di sini," ucap Hans.

Jouse pun membawa sang istri dan menenangkannya di dalam rumah. Tersisa Ajeng yang masih menangis tersedu-sedu dan Hans yang mengelus kepala Ajeng untuk menenangkan.

"Rindu mereka sudah terbasuh oleh kebebasanmu," kata Hans.

"Bolehkah aku marah, Hans? Aku sangat ingin marah pada waktu yang tak bisa menunggu sebentar saja untuk aku memeluk mereka dan mengatakan rindu." Ajeng berujar dengan emosi bercampur tangisan.

Hans tidak bisa menahan dirinya lagi untuk mendekap sosok Ajeng yang tengah rapuh ini. Terdengar tangisan Ajeng semakin kencang sembari terus berseru, "waktu sangat egois, Hans! Kapan permainan takdir ini berpihak padaku!"

"Marah lah, keluarkan emosi yang selama ini kamu pendam, setidaknya kamu ada alasan untuk melakukannya," bisik Hans, pria itu ikut terduduk di tanah sembari terus mendekap Ajeng. Hans ingin menjadi penguat untuk Ajeng.

Terlalu banyak kabar kematian yang Ajeng dengar, telinganya tidak bisa melawan fungsinya meski disumpal dengan kalimat bahwa 'setelah ini semua akan baik-baik saja'.

Kini, kalimat itu sudah begitu tak berarti, tak ada tameng berwujud baja lagi. Pada akhirnya nestapa bersorak penuh kemenangkan lagi. Ajeng telah benar-benar sendiri.

《⚖》

Air mengalir di tenggorokan Ajeng menghilangkan dahaga serta menangkan segukan kecil yang tersisa setelah tadi menangis. Gadis itu berberapa kali membuang nafas pelan seraya menghapus jejak air mata, meski sembab di mata tak bisa dihilangkan.

"Tenangkan dirimu." Hans yang ada di bangku samping Ajeng merapikan rambut panjang gadis itu dengan menyelipkan di telinga.

"Kamu bukanlah Ajeng yang lemah. Ima dan Putri, pasti di sana akan kecewa bila melihat kakaknya kalah karena mereka," ujar Hans.

"Kamu tidak sendirian, Ajeng."

Mendengar suara dari belakang, lantas membuat Ajeng dan Hans menoleh. Di sana ada Anne dan Jouse. Kedua pasangan Belanda itu berjalan mendeketa.

"Ada kami yang akan senantiasa mendukung, menjadi tempat keluh kesah, dan rangkulan semangat untukmu." Anne tersenyum.

"Kami berdua memutuskan untuk menganggapmu sebagai putri kami sendiri, Ajeng. Keluarga ini membutuhkan seorang putri sepertimu," ungkap Jouse yang membuat Ajeng sedikit membuka mulutnya karena kaget. Sementara Hans dan Anne tersenyum lebar.

Ajeng kemudian menggeleng. "Aku tidak mau keluarga ini menerima pandangan buruk karena kehadiranku yang hanya seorang pribumi miskin dan sebatang kara."

"Jika kami menanggapi berita itu, sudah dari lama kami tidak akan menerimamu di sini. Jangan dengarkan orang-orang di luar sana, saya tidak suka," sahut Anne dengan serius.

"Namun, nyonya. Aku tidak ingin menerima apa pun selain perkerjaan seorang pembantu ini. Bukan tidak menghormati keputusan, tapi dengan posisiku ini aku bisa terus menyadari betapa sulitnya hidup menjadi rakyat yang terjajah," jelas Ajeng, beberapa saat ia menjeda ucapannya.

"Sehingga aku bisa optimis pada tujuanku membebaskan wanita-wanita pribumi dari pergundikan," lanjutnya.

Hans tersenyum, ada rasa bangga dan kagum pada seorang Ajeng. "Biarkanlah Ajeng, Ma, Pa. Setidaknya, kita ada di belakang untuk mendukung langkah Ajeng."

Anne dan Jouse tersenyum, pertanda kalau mereka setuju dengan ucapan tersebut. Anne berujar, "tapi kamu tetap ingat, Ajeng. Keluarga ini bukanlah musuhmu yang bisa saja menusukmu dari belakang. Dengan hadirnya kamu di keluarga ini, kami berlajar untuk merasa cukup dan membuka mata pada kenyataan."

Ajeng bingung untuk mengekspresikan suasana hatinya. Takdir bermain bak papan jungkit yang setiap detik berubah posisi. Setelah terenggut, kini termilki rangkulan lain.

《⚖》

09, Desember 2021

22 hari lagi.

Nona Inlander [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang