Sudah hari ketujuh di mana Ajeng mengasingkan diri, akan tetapi sosok pria yang memberikan janji tak kunjung kembali. Apakah Defras menyerah oleh satu kali penolakkan? Mungkin saja itu benar. Tidak ada seseorang yang tak sakit hati oleh sebuah penolakkan. Di sisi lain, Ajeng memiliki janji pada dirinya sendiri. Hati berkata untuk melanggarnya, namun mulut sulit mengatakannya.
Hari ke enam dan ke tujuh tak ada lagi seseorang yang membawa makanan untuk Ajeng, sehingga gadis itu membiasakan bangun pagi-pagi buta untuk mencari sayur ataupun buah di sekitaran gubuk. Ketika kembali, Ajeng dikagetkan dengan suara langkah kuda yang semakin mendekat.
Ternyata itu adalah Defras yang datang dengan menunggangi kudanya. Ajeng tersenyum penuh kecewa, sembari mengalihkan matanya ke arah lain. Ia pun melenggang ke belakang gubuk tanpa peduli panggilan dari Defras.
"Ajeng, tunggu!" Defras mengejar dan menahan lengan Ajeng.
Ajeng membalikan badan seraya menghempaskan tangan Defras. "Kenapa kembali?"
Defras menatap heran. "Kamu ingin saya pergi?"
"Aku sudah menolak kamu, sudah menyakiti hatimu. Lalu kenapa kembali?!" Nada bicara Ajeng sedikit tinggi dan penuh emosi, bahkan matanya terlihat berkaca-kaca.
"Saya tidak merasa sakit. Maafkan saya karena pergi tanpa pamit kemarin. Saya harus menyelesaikan urusan saya," jelas Defras, jujur.
Ajeng mendengkus lirih. "Entah apa urusanmu itu. Ini sudah hari ketujuh—"
"Oleh sebab itu saya datang untuk menjemputmu," sanggah Defras.
"Kemana? Ini tempatku sekarang. Bila kamu ingin kembali ke negeri asalmu, silahkan saja. Aku tak akan ikut." Ajeng berniat melangkah pergi, namun lagi-lagi ditahan oleh ucapan Defras.
"Satu langkah lagi, Ajeng. Satu langkah untuk mewujudkan keadilan yang selama ini kamu perjuangkan."
Ajeng mengembuskan nafas lirih. "Keadilan apa? Semua itu sudah mustahil diwujudkan semenjak satu persatu orang yang mendukungku dihabisi oleh mereka!"
"Kamu ingin lari dari masalah, Ajeng?" Pertanyaan Defras mempu menampar Ajeng secara tidak langsung. Defras mendekati Ajeng kembali seraya menggenggam kedua tangan gadis itu. "Ikutlah bersama saya. Ini demi nyawa-nyawa tidak bersalah yang menjadi korban."
Pada akhirnya Ajeng luluh. Seraya menyeka air mata, Ajeng mengikuti langkah Defras dan menaiki kuda bersama.
"Kamu tidak akan menyangka apa yang akan terjadi nanti," bisik Defras sebelum akhirnya mengambil kendali di tunggangan kuda.
Kuda itu melesat meninggalkan gubuk yang tak akan Ajeng dan Defras tinggali lagi.
《⚖》
Pengadilan Belanda, menjadi tempat yang membuat Ajeng djavu. Dulu ia diadili dengan sangat terhina dan sangat tidak adil. Ajeng masih terdiam beribu bahasa ketika Defras memapahnya ke dalam tempat tersebut. Ada seorang petugas pengadilan yang meminta Ajeng berjalan jongkok seperti dulu, tapi kini Defras menolak dan meminta gadis itu untuk berjalan saja.
Ajeng melihat sekitaran, terdapat banyak orang-orang yang memberikan tatapan beraneka ragam. Ini membuatnya trauma, sehingga sempat dirinya ingin keluar kembali. Namun, Defras membisikan sesuatu yang membuat Ajeng tetap berada di sana.
"Kamu akan menerima keadilan di sini. Apa yang kamu perjuangkan akan mencapai hasilnya di sini, ada saya yang membelamu. Percayalah," bisiknya.
"Persidangan akan segera dimulai. Harap semua saksi, pelapor dan terlapor berada di tempatnya masing-masing." Hakim pengadil mulai bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Inlander [End]
RomanceBenci dan dendam menjadi awalnya. Dihalau kerikil ego dan batu besar perbedaan. Dipaksa menari hingga berdarah-darah, tertawa hingga kehilangan suara. Di ujung sana, disambut cinta yang katanya akan menambal luka. Ini kisah kita, yang tertulis di ma...