1.

1.8K 78 8
                                    



**

Dikta Aiden Dirgantara, berdiri dengan bangganya sembari mengangkat piala kemenangannya. Medali emas terpasang di lehernya yang tercampur dengan keringat kerja kerasnya. Menatap pendukung-pendukung yang menontonnya tadi.
Hal ini sudah kesekian kali. Ia berdiri paling tinggi di antara dua lainnya.

Kejuaraan taekwondo tingkat nasional. Ini sudah ketujuh kalinya ia mendapatkan juara satu. Selebihnya, ia mendapat juara dua ataupun tiga.

Mata hazelnya, menatap sesosok pahlawannya yang menatapnya dengan haru. Berlari kearahnya dan ia merentangkan kedua tangannya.

"Ayah," ucapnya.

"Abang sudah melakukan yang terbaik," ucap sang ayah. Daniel dirgantara, pria dewasa berusia tiga puluh tujuh tahun. Ayah dari tiga anak kembar itu mengecup singkat kening sang sulung setelah melepas pelukannya

"Ini adalah hadiah ulang tahun terbaik ayah. Tapi sayang, Ajun tidak ada disini," ucap Dikta.

Mari saya perkenalkan. Ajuna Aiden Dirgantara adalah adik kembarnya yang hanya terpaut lima menit dengannya. Saat ini, Ajun sedang berada di Surabaya. Mewakili sekolahnya untuk olimpiade sains.

"Besok kita rayakan sama-sama setelah bang Ajun pulang. Bang Ajun kan nanti malam pulang. Rayakan sama adek juga ya." Papa tersenyum sembari mengacak rambut lebat si sulung.

"Dikta tidak mau sama bocah itu." Dengan kesal, Dikta berjalan mengambil tasnya. Berpamitan dengan coach dan teman-temannya.

Ayah menghela nafas pelan sembari mengikuti sang anak.
Ponselnya berdering. Tertera nomor kakaknya, Jackson dirgantara. Dengan cepat ia mengangkatnya.

"Halo kak, ada apa?"

"Ra..ga." suaranya bergetar seperti habis menangis.

Daniel mengernyitkan dahinya. Suara bising juga mendominasi telinganya. Ia menepuk pelan punggung sang anak.

"Bang Dikta, ayah ke mobil dulu ya. Om kamu nelpon."

Dikta membalasnya dengan anggukan.
Dan dengan cepat, ia berjalan keluar dari stadion.

"Apa kak. Tadi tidak kedengaran."

"Raga Niel, ke..kecelaka..an, hiks."

Seakan disambar petir disiang bolong. Hati Daniel hancur. Pikiran buruk berkecamuk di kepala kecilnya. Tidak ingin percaya dengan apa yang di ucapkan kakaknya. Bibirnya bergetar. Air mata mengalir begitu saja.

"Mak..maksud Lo apa kak? Raga dirumah. Ta..tadi dia tidur waktu gue tinggal. Hiks.. Lo.. salah orang. Mungkin, Raga sudah berada disekolah diantar pak Amin."

"Gue juga berharap bahwa gue salah orang Niel. Maka dari itu, cepat Lo susul gue. Supaya Lo bisa memastikan bahwa pemuda kecil yang tubuhnya penuh dengan kabel-kabel itu bukan Raga."

"Ayah... Ayah kenapa?" Dikta berlari menghampiri Daniel yang menangis dengan bersandar di mobil mewahnya. Ia menegakkan tubuh ayahnya.

"Abang.. Abang yang nyetir ya! Kita ke rumah sakit dulu."

"Rumah sakit? Siapa yang sakit yah?"

Tanpa menjawab, Daniel memasuki mobil. Dikta mengerti, ayah tidak ingin cerita dulu. Maka dari itu, ia dengan segera memasuki mobil. Menyetir dengan fokus. Sesekali menatap ayah yang menatap kosong ke depan dengan air mata yang masih mengalir deras.

Selang beberapa menit, mobil yang di kendarainya terparkir apik di parkiran rumah sakit yang dimaksud ayah. Ayah membuka mobil dengan cepat. Berlari menyusuri koridor-koridor yang ramai itu. Sampai, netranya menangkap sosok om Jackson yang duduk di kursi depan ruang ICU.

after(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang