11

253 26 0
                                    

"Kalau adek nggak boleh jadi bagian dari laut, berarti adek boleh kan, jadi bagian dari langit:)))"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau adek nggak boleh jadi bagian dari laut, berarti adek boleh kan, jadi bagian dari langit:)))"











**

Bang Ajun dan Raga, mereka selayaknya saudara pada umumnya.
Ajun tidak seperti Dikta yang membenci Raga, tidak pula seperti Lucas yang sangat menyayangi Raga.
Tapi Ajun, pria yang lebih tua dua bulan itu hanya... Pemuda yang tidak bisa mendeskripsikan perasaannya.

Ia sangat kesal jika Raga menerornya dengan spam chat yang tidak penting.
Lalu, ia akan marah saat Raga pulang dengan wajah yang babak belur. Dirinya takut, Raga ikut tawuran di luar sana. Padahal, adik satu-satunya itu yang menjadi korban bully.

Ia juga sangat marah saat Dikta dengan terang-terangan menyiksa Raga. Dan dirinya, akan menjadi orang paling depan yang membela adiknya. Melawan Dikta yang memang mau mendengarkan ucapannya.

Ada momen yang tidak pernah ia lupakan dengan sang adik.
Saat itu, keluarganya sedang melakukan liburan di pulau Bali.
Mereka tengah menikmati acara barbeque di sebuah resort yang terhubung langsung dengan pantai.

Para orang tua tengah sibuk dengan daging panggang mereka. Lucas membantu menyiapkan minuman, sementara Dikta tengah asik main game .

Dan Ajun, melihat Raga yang tengah duduk di sebuah batu besar yang berada di tepi pantai. Memandang kosong kedepan.
Ajun pun, memutuskan duduk di sampingnya.

"Lagi mikirin apa?" Tanyanya yang membuat Raga tersentak kaget. Sepertinya adiknya ini sedang melamun.

"Lo malu nggak? Punya sodara yang sakit mental kayak gue?"

Ada jeda beberapa detik sebelum Ajun menjawab.
"Gue justru bangga, punya saudara yang hebat kaya lo."

"Gue sakit mental bang, bukan hebat."

Ajuna tersenyum, kemudian merangkul pundak yang lebih muda.

""Lo bisa bertahan sampai sejauh ini, adalah hal yang hebat. Yang patut kita syukuri."

"Thanks bang," ucap Raga kemudian meminum cola yang sengaja ia sembunyikan, takut mama tau.

"Lo, lagi mikirin itu?"

"Nggak. Lihat deh bang, laut itu luas banget ya. Kalau gue jadi bagian dari laut, gimana?"

Ajun tau arah pembicaraan sang adik. Sehingga ia harus dengan hati-hati membalas perkataan adiknya.
"Cukup jadi penikmat saja, Ga. Belum tentu di sana, laut bisa menerima lo." Perkataan Ajun berhasil membungkam Raga.

"Kalau Lo mau lihat laut, gue siap kapanpun itu buat temani Lo," lanjut Ajun.

"Tadi bunda datang. Bunda ajak gue ke sana." Raga menunjuk lautan luas yang gelap itu. Seketika Ajun menjadi takut dan dengan segera ia menarik adiknya dari sana, bergabung dengan yang lain sembari mengawasi Raga.

Ajun mengambil tempat di samping Dikta, sementara Raga, sudah di suapi daging oleh mama.

"Lo kenapa? Kayak gelisah gitu?" Tanya Dikta yang sudah selesai dari gamenya.

"Gue tadi habis ngobrol sama Raga."

Dikta mengernyitkan dahinya. Pertanda ia penasaran.

"Raga ngomongnya ngaco banget."

Kemudian, Dikta terkekeh.
"Lo kan tau, dia gila."

"Jaga ucapan Lo ya. Mau gimanapun dia itu juga adik kandung Lo."

"Nyenyenye."

Ajuna tidak menanggapi. Yang ada, ia malah emosi menghadapi kakak yang lebih tua beberapa menit darinya itu.


**

"Sudah satu bulan lho Ga, lo nggak bangun. Katanya, mau buatin si Dikta kue terus mau di bagiin ke gue juga." Ajuna menghela nafas pelan sembari menggenggam tangan sang adik yang terbebas dari infus itu.

Dirinya sangat miris sekali melihat sang adik bernafas saja harus dengan alat bantu.

"Ayo bangun Ga. Jangan mau kalah sama rasa sakitnya. Kita semua nunggu lo. Lo nggak kasihan apa sama mama, dia setiap hari nangis Ga. Takut lo pergi, takut lo lebih milih ikut bunda"

Ajun mendongak, mencoba menahan air mata yang akan tumpah.
Dirinya sudah berjanji untuk tidak menangis di depan Raga.

"Gue pengen lihat laut Ga, tapi sama lo. Kita sudah janji,kan mau menikmati laut bersama-sama. Nanti, kalau Lo sudah bangun, kita lihat lautnya pas sore ya, biar sekalian lihat senja. Kata kak Lucas, laut indah pas senja." Ajun tersenyum, berusaha membayangkan jika dirinya nanti barsama sang adik menikmati laut senja bersama.

"Gue harap lo bangun Ga, banyak yang rindu sama lo." Kemudian pemuda tujuh belas tahun itu pergi karena jam besuk sudah habis.

Ajun menghapus air matanya saat keluar dari ruang rawat sang adik.
Disana, sudah ada papa Jackson.
Ajun pun duduk di samping Jackson.

"Hari ini, papa yang jaga Raga?" Tanyanya yang di angguki oleh yang lebih tua.

"Habis ngobrol apa sama adiknya?"

"Eum... Ajun ajak Raga lihat laut pa, kita sudah ada janji buat nikmatin laut bersama-sama."

"Wah... Papa boleh join nggak nih."

"Boleh, kalau adek sudah bangun."

Jackson tersenyum kemudian mengusak rambut keponakannya ini dengan sayang.

"Adek kamu pasti bangun Jun. Papa yakin itu," ucapnya kemudian.

"Ajuna capek pa, nungguin adek yang nggak mau bangun." Ajuna Kembali menangis. Kali ini, di pelukan papa.

"Abang Ajuna nggak boleh capek. Kalau kamu saja cape, gimana adek? Adek pasti berjuang buat bangun bang. Kamu mau, adek nyerah dan nggak kembali bersama kita?"

Ajun menggeleng bruntal. Dia tidak ingin di tinggalkan. Cukup bunda saja yang meninggalkannya, adek jangan.

"Nggak. Adek nggak boleh nyerah. Ajun menyesal sudah bilang capek. Adek pasti lebih capek."

Jackson tersenyum tipis sembari mengelus surai hitam Ajun.

"Papa yakin, sesegera mungkin, Raga akan kembali bersama kita."





⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐

after(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang