14

325 24 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
















***


Suasana malam di ruang inap VIP ini lebih ramai dari biasanya. Seluruh anggota keluarga datang, untuk menemui bungsu yang sudah bisa tersenyum dan membalas celotehan abstrak Lucas.

Ada ayah yang sedang menyuapi bungsunya.
Ada mama, papa, Lucas, Ajun, dan Dikta yang juga tengah makan pizza yang sempat di pesan mama sebelum kemari.

Raga menatap dua box pizza yang telah habis itu. Kemudian ia menatap semangkok bubur yang ada di tangan ayah.

"Ayah, pizza-nya kok habis? Adek juga mau," ucapnya pelan.

Sementara ayah menoleh singkat pada box pizza, lalu menatap bungsunya sembari terkekeh.
"Adek bolehnya makan bubur sama dokter. Adek belum boleh makan pizza."

"Tapi adek pengen yah."

"Sembuh dulu ya. Kalau sudah sembuh ayah janji akan beliin adek pizza."

Raga mengangguk samar sembari mengunyah bubur lembek itu.

"Nanti ulang tahun Raga, kita barbeque di halaman rumah ya yah." Raga menatap ayah sembari memohon.

Tinggal sembilan hari lagi, tepat sepuluh mei, bungsunya berusia tujuh belas tahun.
Dan dalam kurang dari sembilan hari, apakah anak itu sudah sembuh? Apa dokter akan mengizinkan untuk pulang?

"Bagaimana kalau kita rayain di sini? Nanti ayah akan beli kue tart strawberry kesukaan adek."

Raga menggeleng sembari mengulum bibirnya kebawah.
Ayah menghela nafas pelan.
"Oke, nanti ayah tanya sama dokter dulu."

"Bener lo yah! Janji!" Raga mengangkat jari kelingkingnya kemudian ayah menautkan kelingkingnya dengan kelingking Raga.

"Kalau sudah janji harus di tepati," ucap Raga.

"Asik banget, papa nggak di ajak." Raga menoleh pada papa Jackson yang berjalan mendekat.

"Papa, ayah janji sama adek buat barbeque an saat ulang tahun adek."

Papa menatap ayah dengan tatapan bertanya dan di angguki oleh ayah.

"Nanti gue ijin sama dokter dulu," balas ayah.

"Yaudah. Lo makan dulu deh! Gantian gue yang disini," ucap papa yang di angguki oleh ayah. Kemudian, papa mengambil alih mangkok berisi bubur itu.

"Lho, kok masih banyak?"

"Raga nggak terlalu suka bubur ini pa. Nggak ada rasanya."

"Adek kan baru bangun setelah tidur panjang. Adek harus adaptasi dulu sama makanan ini. Kalau langsung di kasih yang ada rasanya, takutnya perut adek sakit," papa menjelaskan dengan nada lembutnya.

"Ayo! Ini habiskan. Katanya mau barbeque an? Harus sembuh dulu dong!"

Raga mengangguk walaupun terlihat tak ikhlas.


**

"Lo diem-diem bae." Ajun menyenggol lengan kembarannya itu. Ia tau, sendari tadi Dikta hanya memperhatikan Raga dari jauh, tidak berani mendekat. Dikta seakan menghindar padahal di telepon tadi ia begitu antusias.

"Emang gue harus gimana?" Dikta acuh sembari memainkan game di ponselnya. Walaupun dalam hati ia ingin sekali memeluk adik bungsunya. Tapi ia merasa gengsi dan tidak pantas. Atau bisa di bilang, Dikta takut di tolak saat memeluk Raga.

"Gue tau kali apa yang ada di fikirkan lo," ucapan Ajun berhasil membuat Dikta tidak fokus pada gamenya dan berakhir kalah.
Dikta mendesah kecewa dan meletakan. Ponselnya pada meja.

"Gue malu aja sama Raga. Gue kan udah jahat banget sama dia."

"Minta maaf. Raga pasti bakal maafin lo kok. Emang lo nggak mau peluk Raga apa?"

"Ya mau lah."

"Yaudah sana." Ajun menarik tangan Dikta dan mendorongnya sampai menabrak blankar Raga.

"Abang!" Mama menatap marah pada keduanya.

"Ajun tuh ma." Dikta menatap Ajun dengan bombastis side eye.

"Maaf," balas Ajun. Ia mengangkat kedua jarinya tanda damai.

"Jangan usilin adeknya dong. Adeknya kan masih sakit."

"Iya mama cantik," ucap Ajun. Mama hanya menghela nafas panjang.

Sementara Dikta merasa awkard di dekat Raga. Padahal anak itu menunggu Dikta untuk mengucapkan sesuatu.

"Maaf," ucap Dikta terlampau pelan sehingga Raga tidak mendengarnya.

"Abang tadi bilang apa?"

"Bang Dikta minta maaf karena sudah jahat sama adek selama ini. Suka pukul dan bully adek. Nggak papa kok kalau adek nggak mau maafin Abang, Abang ngerti. Kalau Abang jadi adek mungkin Abang juga nggak mau maafin."

"Raga maafin Abang kok." Raga tersenyum lebar. Rasanya, sudah lama ia ingin mendengarkan perminta maaf abangnya ini.

"Beneran? Lo maafin gue semudah itu?" Dikta menatap Raga tak percaya.

"Iya. Raga senang.... Sekali mendengar Abang minta maaf."

"Makasih. Tapi... Gue boleh peluk lo?"

Raga mengangguk tanpa ragu dan Dikta langsung memeluknya.
Dikta menangis, ia tidak bisa menahannya lagi. Menanti Raga untuk bangun dalam komanya sungguh membuatnya takut. Ia takut kehilangan.

"Terimakasih sudah kembali sama kita dek. Terimakasih sudah mau maafin abang."

"Raga juga makasih, karena Abang sudah baik lagi sama Raga."

"Kok gue nggak di ajak? Kita kan triplets."

Keduanya menoleh pada Ajuna yang merajuk itu.
"Sini abang, kita berpelukan." Kemudian ketiganya berpelukan.

Mama, papa, dan ayah menatap ketiganya dengan gemas.
Sementara Lucas, sebenarnya ia ingin bergabung tapi... Dirinya sedang makan dan tangannya masih belepotan.

Poor kakak Lucas:)))

***

 Foto ini di ambil saat kak Lucas mudik ke Australia 🙂🙂🙂🙂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Foto ini di ambil saat kak Lucas mudik ke Australia 🙂🙂🙂🙂



**

👇👇
⭐⭐
            

🙏🙏🙏🙏

after(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang