"Darah memang lebih kental daripada air. Tapi, air pun bisa membersihkan darah yang mengerikan itu."
**
Daniel sedari tadi memperhatikan Lucas yang hanya memakan sedikit makanannya. Ia membawa Lucas makan di restoran cepat saji karena ini masih sangat pagi dan belum banyak restoran yang buka di dekat rumah sakit ini.
"Lucas kenapa? Makanannya kurang enak ya?" Tanyanya dengan lembut dan di balas gelengan oleh Lucas. Anak itu masih murung ternyata.
"Yah, Raga akan bangunkan? Dia tidak akan meninggalkan kita kan?" Lucas menatap ayah dengan raut sendunya.
"Doain saja ya Lu, semoga adikmu itu bisa cepat sadar dan bisa berkumpul lagi dengan kita."
Ucapan ayah kembali membuat Lucas menunduk. Ia sangat takut jika adik kecilnya itu kembali meninggalkannya lagi seperti saat itu.
Kemarin, saat Lucas baru saja menyelesaikan jam mata kuliahnya, papa menghubunginya dan menyuruhnya untuk segera kerumah sakit. Berita tentang kecelakaannya raga berhasil meremukkan hatinya.
Ia menangis meraung di depan ICU yang hanya ada ayah disana. Ayah, pun hanya mampu memeluknya, menenangkannya walaupun raut wajah ayah tidak bisa membohonginya.
"Lucas, hey.. kenapa diam saja? Ayo dimakan nanti makanannya dingin." Daniel mengerti, sangat amat mengerti. Sejak Daniel bercerai dengan mantan istrinya dan sejak kejadian yang membuat bungsunya harus selalu di pantau psikolog, Lucas lah yang menjadi teman main bungsunya.
Lucas yang menemani jika keadaan Raga drop. Lucas yang selalu bisa menjadi kakak terbaik saat kedua kakak kembarnya bahkan tidak ingin di sentuh oleh Raga. Intinya, Raga sangat tergantung oleh Lucas.
"Lucas tidak nafsu makan yah. Lucas ingin kembali menemani Adek."
Daniel tersenyum tipis.
"Kamu kan baru makan sedikit. Ayo di habiskan. Nanti jika sakit, ayah tidak akan mengijinkanmu menemani Adek Raga lagi ya."Mendengar ancaman kecil Daniel, membuat pemuda mahasiswa semester tiga itu segera melahap makanan yang sudah hampir mendingin itu.
.
.
.Lucas memisahkan diri dari keluarganya. Ia sedang berada di rooftop rumah sakit. Keadaan Raga kembali drop tadi. Dan sempat terjadi keributan serta tangisan menyakitkan di depan ruang ICU. Dan setelah memastikan keadaan kembali tenang, Lucas beranjak dari sana.
Ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu. Saat ia dengan tak sengaja melihat Raga akan memutus urat nadi di balkon kamar.
Sedikit informasi, Raga memang tinggal dengan keluarga Jackson. Untuk kejelasannya, mari ikuti cerita ini terus.Malam itu, Lucas baru saja pulang setelah nongkrong biasa dengan teman-teman kampusnya. Dan entah kenapa ia sangat ingin menemui Raga yang akhir-akhir ini sering sekali menginap di rumah ayah.
Ia ingin tidur bersama adik kecilnya ngomong-ngomong.Dan ketika ia membuka pintu, betapa kagetnya ia, melihat Raga yang memegang erat pecahan gelas dan bersiap menggoreskannya pada pergelangan tangannya.
"RAGA, APA YANG LO LAKUKAN," bentaknya dan dengan cepat ia menepis tangan raga agar pecahan kaca itu terlepas dari tangan yang telah berlumur darah.
"LO GILA? HAH." Lucas tidak bisa mengontrol emosinya sampai-sampai ia lupa jika mental Raga sedang menurun saat ini.
Sedangkan Raga, menatap Lucas dengan takut. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.
"Raga gila... Raga gila... Bunda ngajak Raga pergi kakak. Bun.. bunda... Dimana bunda? Tadi bunda menemani Raga disini. BUNDA... BUNDA... JANGAN NGAJAK RAGA PERGI... BENCIII... TAKUT... AARRGHH..."
Lucas mendekap tubuh Raga yang memberontak sembari meneriaki nama mama, satu-satunya orang yang bisa menolong Raga untuk saat ini. Evelyn adalah psikiater kondang. Puluhan pasien bisa sembuh setelah menjalani pengobatan dengannya.
"Adek tenang.. ada kakak, ada kak Lucas. Disini tidak ada bunda. Adek sama kak Lucas adek aman. Adek tenang ya sayangnya kakak." Bisikannya pun, tak mampu membuat kesadaran Raga kembali.
"BUNDA JANGAN DATANG-DATANG LAGI... TA... Takut, Raga takut bun.. bunda, hiks."
Setelah beberapa kali Lucas meneriaki mama, akhirnya mama datang dan mengambil alih tubuh Raga yang sudah melemas. Darah, pun masih menetes di telapak tangan Raga.
"Raga sayang, ini mama nak, bukan bunda. Mama akan mengajak Raga liburan. Ya... Kita pergi liburan bareng-bareng. Raga jangan takut. Jika bunda datang, jangan turuti apa kata bunda. Teriak saja nama mama yang keras, nanti mama akan usir bunda kamu."
"Mama usir bunda? Tadi bunda disini. Bunda tidak ada, mama usir?" Mata sayu raga menatap mama yang tersenyum dalam tangisnya.
"Iya. Raga aman sama mama. Raga aman sama kak Lucas. Raga aman sama papa Jackson."
Raga menoleh ke arah Lucas yang tengah menangis dan kembali menatap mama dengan linglung. Mama mengecup dahi raga berkali-kali.
"Ayo, mama obatin darahnya Raga supaya cepat berhenti."
Raga menggeleng.
"Sama Kakak Lucas saja ma. Mau dibersihin sama kakak.""Iya sama kakak. Raga duduk di atas ya! Jangan di bawah, kan dingin. Ayo mama bantu." Evelyn di bantu Lucas, membawa tubuh lemas Raga ke atas ranjang.
Raga memeluk Lucas seakan tidak mau berpisah barang sedetikpun. Walaupun darah dari telapak tangan Raga mengenai baju Lucas tapi itu tidak masalah. Lucas membalas pelukan adiknya dengan senang hati.
"Kakak temani adek dulu ya! Mama akan ambilkan kotak p3k dulu."
Lucas mengangguk. Ia menghapus sisa-sisa air mata di pipi tembam Raga.
"Kakak Raga takut." Raga mengadu dengan suara lirih.
"Tidak ada yang perlu Raga takutin. Disini ada kakak, mama dan papa. Raga tidak perlu merasa takut ya.
"He eum. Tapi nanti tidur sama kakak ya!" Mata onix Raga menatap Lucas yang masih di peluknya. Lucas tersenyum sembari mengangguk.
Beberapa saat kemudian, mama datang dengan kotak p3k. Dengan telaten Lucas membantu membersihkan luka Raga dan mengobatinya. Sementara Evelyn menunggu di samping Raga yang berada di tengah-tengah mereka.
"Nah, sudah. Kakak mandi dulu ya dek." Raga menggeleng. Ia sangat tidak ingin Lucas pergi.
Evelyn turun tangan. Ia mengelus Surai raga.
"Kak Lucas masih bau asem. Raga mau tidur sama kak Lucas yang bau?"Raga menggeleng mendengar penuturan mama.
"Biarin kakak mandi dulu ya. Mama akan menemani Raga sampai kakak selesai mandi."Raga mengangguk pelan. Dengan berat hati, ia melepaskan pelukan Lucas dan beralih menempel pada tubuh mama. Lucas, pun dengan cepat-cepat beranjak dari sana.
Mengingat momen itu, membuat Lucas rindu tidur bersama adek kecilnya. Lucas meraih sebungkus rokok di saku jaketnya. Mengambil satu dan menyalakannya dengan korek api. Setelahnya ia menghisapnya. Sejenak, ia bisa melupakan ketakutannya terhadap Raga.
Dan malam itu, di habiskan Lucas dengan menyebat sebungkus rokok tanpa henti."Cepatlah kembali dek. Lihat, kakak hancur karenamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
after(End)
Teen Fictionkeegoisan itu akan membawa penyesalan dikemudian hari. Jadi, setelah semuanya terjadi, mereka menuntut sang korban untuk bertahan.