Kakak, kembar, dan bungsu
***
Setelah pulang dari latihan, Dikta berjalan pelan memasuki kamar adiknya, Raga. Tidak pernah sekalipun ia memasuki kamar dengan nuansa abu itu. Dikta menatap takjub lukisan-lukisan yang terjejer rapi di sana, dengan tanda tangan kecil milik Raga di sisi bawah kanvas itu.
Perlahan Dikta berjalan ke arah ranjang. Ia duduk di tepi ranjang. Aroma cologne stroberi tercium. Ah, ia sangat merindukan bungsu yang malang. Yang sering kali ia pukul.
Dikta membuka laci itu. Ada sebuah kertas lusuh yang di gulung. Ia meraihnya dan membukanya. Itu adalah, lukisan wajahnya. Ia ingat, itu lukisan setahun yang lalu. Saat ia ulang tahun dan Raga menghadiahkan lukisan itu untuknya. Tetapi, dengan kejamnya, ia merematnya dan membuangnya. Tak di sangka, Raga kembali mengambilnya.
Dikta memukul dadanya berkali-kali dengan keras. Sesak sekali mengingat momen itu.
Kemudian, fokusnya teralih ke figura kecil di atas nakas. Itu foto dirinya yang sedang berjalan bersama Raga dengan pakaian olahraga. Ia ingat, foto ini di ambil saat Raga menggantikan Ajun yang sedang sakit, untuk acara tahunan olahraga di sanggar olahraga milik teman ayah.Saat itu, Dikta hanya berambisi untuk menang. Mendesak Raga yang fisiknya memang lemah untuk menang, dan Raga mengabulkannya. Mereka menang dalam lomba lari estafet.
Memutar waktu ke belakang memang semakin membuatnya terlihat buruk. Sebagaimana ia memperlakukan adik bungsunya dengan sangat buruk.Deringan ponsel membuat Dikta menghentikan tangisnya. Ada telepon dari Ajun yang saat ini sedang berada di rumah sakit.
"Hallo."
"Lo dimana?"
"Dikamar Raga."
"Cepat kesini Raga sudah sadar."
Bagai mendapatkan jackpot, Dikta segera beranjak dari kamar Raga.
Teramat bahagia karena penantian panjang mereka terbayarkan dengan terbukanya mata indah sang bungsu."Mandi dulu Lo."
"Tapi beneran Lo nggak ngeprank, kan?"
"Emang hal kayak gini bisa di bercandain?"
"Yaudah maaf. Gue mandi dulu deh." Setelahnya telepon di putus olehnya.
**
Hari ini hanya Ajuna yang menunggu Raga di rumah sakit. Sebenarnya bersama Lucas, tetapi anak itu sedang ada urusan mendadak yang tidak bisa di tinggalkan.
Ajuna duduk di samping ranjang sang adik. Memperhatikan mata yang hampir dua bulan ini terus terpejam.
Ajuna menggenggam tangan sang adik yang terbebas dari infus."Bentar lagi Lo sweet seventeen, bangun dong! Lo mau hadiah apa dari gue? Heumm... Bangun dong dek! Nggak kasihan apa sama mama yang tiap hari tangisin lo." Ajuna menghela nafas pelan. Kemudian, matanya terbelalak kala melihat tangan yang terpasang infus itu bergerak kecil diiringi dengan mata yang terbuka namun menutup kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
after(End)
Teen Fictionkeegoisan itu akan membawa penyesalan dikemudian hari. Jadi, setelah semuanya terjadi, mereka menuntut sang korban untuk bertahan.