10

280 27 0
                                    

***

Suatu hari, Dikta benar-benar dibuat marah oleh Raga. Saat melihat Raga memukul teman sebangkunya hingga babak belur.
Saat itu, Dikta amat sangat marah sampai melapor pada ayah hingga Raga dihukum. Padahal, mereka belum mendengar penjelasan dari si kecil. Bukankah suatu tindakan tidak akan di lakukan jika tidak ada penyebabnya?

Sandi, teman sebangku Raga yang berpenampilan agak culun itu sendari pagi pandangannya kosong. Raga memang tidak pernah berbicara dengan partner sebangkunya, akan tetapi ia bisa merasakan ada yang berbeda. Sebab, biasanya Sandi akan fokus mengerjakan soal-soal yang belum sampai di bahas oleh guru.

Hingga saat bel masuk sehabis istirahat, Raga melihat pria itu akan mensayat pergelangan tangan dengan cutter. Raga menepisnya kemudian memukul Sandi sampai beberapa pukulan.

"Lo gila ha? Apa yang Lo lakukan brengsek," ucapnya dengan marah.

"Biar gue aja yang gila, kalian jangan," lanjutnya dalam hati.

Sementara yang di pukuli, hanya menangis dan tidak membalas.
"Lo bodoh! Emang dengan begitu, Lo bisa merasa bahagia?"

Kembali, pukulan keras ia layangkan pada wajah babak belur Sandi. Sampai beberapa murid yang hendak masuk, melerai mereka berdua. Termasuk Dikta dan Ajun yang langsung menyeretnya menjauh.

Dikta menghempaskan tangan Raga kasar. Sementara Ajun hanya melihatnya saja.
"Mau jadi sok jagoan?" Tanya Dikta dengan nada dingin.

Raga menunduk. Tidak berani membalas tatapan Dikta yang seram menurutnya.
"Lo bisu?"

"Abang salah paham."

"Salah paham apa maksud Lo? Jelas-jelas tadi gue lihat Lo pukulin teman sebangku Lo. Padahal menurut gue dia nggak pernah gangguin siapapun. Kenapa Lo lakuin ini? Malu-maluin tau nggak."

"Di...dia mau."

"Jangan cari membelaan deh Ga. Lebih baik Lo minta maaf sama Sandi," sahut Ajun.

"Tapi Raga nggak salah."

"Lo." Dikta menunjuk wajah Raga dengan geram.

"Lo udah pukul anak orang sampai luka-luka kayak gitu masih bilang Lo nggak salah? Gue laporin ayah aja, biar ayah yang urus semuanya. Ayo Jun, kita pergi! Percuma ngomong sama orang gila kayak dia."

Kemudian, keduanya pergi. Meninggalkan Raga yang menatap nanar.
"Abang juga sering pukulin adek padahal adek nggak salah apa-apa. Seharusnya Abang dengerin penjelasan adek dulu." Sayangnya, itu hanya ia suarakan dalam hati.

**

"Kenapa kamu pukulin teman kamu?" Suara datar ayah berhasil membuat Raga semakin mengeratkan genggamannya pada ujung baju yang di pakainya. Saat ini, ia memang berada di rumah ayah setelah ayah meneleponnya tadi.

"Raga mau membuat Sandi sadar yah."

"Maksud kamu?"

"Tadi... Raga lihat Sandi mau ngelukain tangannya pakai cutter yah. Raga merasa marah dan langsung pukul Sandi. Maafin Raga yah." Raga menatap ayah dengan mata berkaca. Membuat  amarah ayah mereda setelah mendengar penjelasan bungsunya.
Seharusnya ia mendengarkan penjelasan si bungsu dulu.

"Sini nak." Ayah mengulurkan kedua tangannya. Memeluk bungsu yang bahkan tidak terlalu dekat dengannya itu.

"Maafkan ayah ya nak. Seharusnya ayah mendengar penjelasan adek dulu."

Raga mengangguk.

"Nanti kita jenguk teman kamu sama-sama ya. Kata bang Ajun, dia dirawat di rumah sakit."

"Tapi... Raga takut yah."

"Ayah temani. Ayah akan selalu di samping Raga sampai kapanpun."

Kemudian, pemuda berusia enam belas tahun itu mengulum senyum manisnya sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh sang ayah.

"Jangan pernah ninggalin Raga ya ayah, janji ya!"

Ayah dari kembar tiga itu mengelus surai halus sang bungsu dengan sayang.

"Ayah tidak akan meninggalkan anak-anak ayah. Kalian harta berharga yang tuhan titipkan pada ayah."

"Terimakasih ayah."

"Terimakasih juga, adek, sudah hadir dan membuat hidup ayah kembali berwarna."

**

Kemudian, Raga pernah bertanya kepada Dikta, kenapa abangnya itu begitu membenci dirinya.
Dan Dikta tidak menjawab, ia hanya pergi dan menghiraukan pertanyaan dari bungsu.

Lalu, dia hanya termenung di balkon kamarnya, berusaha mencari dimana letak kesalahan sang adik, dan kenapa ia begitu tidak menyukai atensi adiknya.

Butuh beberapa waktu sampai ia menemukan jawaban dari pertanyaan Raga.
Ia membenci adik bungsunya itu karena bunda, bunda hanya memilih membawa Raga dan meninggalkan dirinya bersama Ajun.
Hanya Raga yang di perebutkan hak asuhnya. Bunda hanya mempertahankan Raga, bukan dirinya ataupun Ajun. Seakan bunda tak pernah benar-benar menyayangi dirinya.

Lalu, saat bunda pergi untuk selama-lamanya. Raga tidak menolong bunda. Padahal, Ragalah yang bersama bunda pada saat itu.
Kenapa Raga tidak mencegah bunda yang saat itu memilih mati?
Ya... Itu pertanyaan sebelum ia mengetahui semuanya. Sebelum mama menceritakan semua yang di alami Raga saat bersama bunda.





***

Saat ini, giliran Dikta dan ayah yang menjaga bungsu. Ia tengah duduk di kursi tunggu bersama ayah. Sesuatu tengah mengusik fikirannya hingga ia dengan sedikit takut menanyakannya pada sang ayah.

"Ayah," ucapnya pelan. Ayah yang sedang fokus dengan ponselnya pun menoleh. Tersenyum menatap raut murung sulungnya.

"Kenapa bang?"

"Kenapa dulu ayah sama bunda merebutkan hak asuh Raga saja?"

Ayah mengernyitkan dahinya. Berusaha memahami apa yang sedang anak itu fikirkan.

"Eumm... Sebenarnya, hak asuh kalian itu sama ayah semua tapi bunda kamu keukeuh mau pertahanin adek. Padahal bunda kamu itu tau, adek kamu itu lemah dan butuh perhatian yang lebih. Padahal ayah mampu buat bikin adek kamu itu bahagia."

"Alasan bunda pertahanin adek apa ayah? Kenapa bunda juga tidak pertahanin aku dan Ajun? Apa bunda cuma sayang adek?"

Ayah tersenyum tipis sembari merangkul sulungnya.

"Siapa bilang? Sangking bunda kamu sayang sama kamu dan bang Ajun, bunda kamu rela berpisah dengan kamu dan kenapa bunda kamu lebih milih pertahanin adek? Karena, menurut bunda kamu, adek itu penganggu, adek itu hama tidak boleh tinggal bersama kamu dan bang Ajun."

"Kenapa begitu ayah?"

"Karena adek Raga itu lemah nak. Adek Raga nggak sekuat kamu dan bang Ajun. "

Kemudian, Dikta memeluk ayah dan kembali menitikan air matanya. Rasa bersalahnya kembali menumpuk. Begitu banyak hal tidak ia ketahui tentang adik bungsunya.

"Lho, kenapa nangis bang? Walaupun fisik adek lemah, tapi... Hatinya selalu kuat."

"Dikta hanya... Sayang banget sama adek yah. Tolong buat adek sembuh ayah! Buat adek kembali sama kita," ucapnya di sela-sela tangisnya.

"Ini hanya tentang waktu bang. Adek pasti kembali."

***

after(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang