"Memiliki tiga kakak adalah sebuah keajaiban yang selalu Raga syukuri. Terimakasih, sudah menjadi kakak untuk Raga."
***
Ruangan itu kembali tenang, setelah beberapa saat lalu sempat dihebohkan dengan keadaan pemuda tanggung yang masih belum membuka matanya.
Ini sudah hari kedua, sejak kejadian yang dimana membuat Raga harus terbaring lemah dengan berbagai alat penunjang hidup.Di depan ruang ICU, kedua pemuda kembar non-identik itu terdiam. Sama-sama menyelami pikiran masing-masing. Hingga suara pintu terbuka, menampilkan dua perawat dengan alat medis yang dibawanya.
"Suster, saya boleh masuk?" Si sulung bertanya. Suster cantik dengan senyum ramahnya itu menjawab.
"Dokter belum memperbolehkan untuk di jenguk dek. Yang sabar ya."
Dikta menghela nafas kecewa, menatap punggung suster yang berjalan pergi. Ajun menepuk pelan bahu kakak kembarnya.
"Lo tau, apa yang membuat Raga begitu menyukai Lo dibanding gue? Padahal, gue yang selalu baik sama dia." Perkataan Ajun membuat Dikta yang tertunduk lesu itu menatap adik kembarnya dengan tatapan bertanya.
Selama ini, memang Raga selalu menempelnya walaupun ia sering kali memukul Raga.
"Dulu, gue sempat bertanya sama Raga saat Lo dan ayah lagi nggak dirumah. Apa yang membuat Lo terobsesi dengan Dikta dibanding gue?" Ajun menjeda ucapannya sebelum melanjutkan.
"Katanya, saat dulu bunda dan ayah bertengkar hebat, Lo yang dengan beraninya, membawa gue dan Raga masuk ke kamar menguncinya dan menutup telinga kita. Melindungi kita dari trauma, katanya. Walaupun Lo dengar dengan keras pertengkaran mereka. Katanya, Lo Abang terbaik yang dia punya."
Menurut Dikta itu hal di masa lalu yang sudah ia lupakan. Tapi, Raga menyimpannya dengan sangat baik.
"Hal kecil yang gue lakuin dulu, tidak sebanding dengan penyiksaan yang udah gue lakukan bertahun-tahun sama dia."
"Tapi, Dikta, rasa sukanya kepada Lo lebih besar daripada harus membalas kebencian Lo dengan kebencian juga. Hati Raga terlalu baik. Mama mendidiknya dengan sangat baik."
"Dan yang harus Lo tau, bunda pergi bukan karena Raga. Bunda pergi karena inginnya sendiri. Dan dengan kesalahan almarhum bunda, berdampak pada mental Raga hingga sekarang."
"Gue tau, gue tau. Gue bodoh banget. Gue Abang yang jahat bagi Raga yang hatinya selembut kapas." Dikta menunduk. Air matanya kembali menetes.
Ajun yang melihat kakak kembarnya menangis,pun memeluknya dari samping.
"Raga tidak butuh air mata Lo. Yang Raga butuhkan itu, support Lo, doa Lo, bukan air mata Lo. Lo boleh nangis. Puasin Lo nangis sekarang! Tapi Lo harus janji, sehabis ini, Lo nggak boleh nangis lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
after(End)
Teen Fictionkeegoisan itu akan membawa penyesalan dikemudian hari. Jadi, setelah semuanya terjadi, mereka menuntut sang korban untuk bertahan.