•Lembar Pertama•
Riuh kelas saat bel pulang berbunyi, seakan menjadi melodi paling menyenangkan yang ditunggu oleh siswa-siswa di sekolah. Dari semua siswa di kelas 12 IPS 3 , dua laki-laki yang duduk di bangku paling belakang selalu bisa mencuri perhatian. Menjadi bagian dari tim inti basket di sekolah, membuat Darel dan Haris selalu mampu membuat para siswi menatap kagum.
"Kabarin anak-anak hari ini kita latihan. Lo duluan aja ke lapangan, gue beli minum dulu di kantin," ucap Darel. Meraih tas sekolahnya, lalu berjalan mendahuli Haris. Sedangkan lawan bicaranya hanya mengangguk, sebelum mengikuti langkah Darel keluar.
Hari ini Darel kembali menjadwalkan latihan untuk pertandingan antar sekolah minggu depan. Tahun lalu, Darel sudah berhasil membawa timnya menjadi juara. Dia rasa pertandingan kali ini tidak akan sulit. Terlebih dia tahu betul bagaimana kualitas teman-temannya yang tidak akan mengecewakan.
Selepas membeli minum untuknya dan Haris, Darel kembali ke lapangan. Memberi jeda beberapa menit untuk teman-temannya berkumpul. Selain itu, Darel juga tahu bahwa mereka pasti lelah setelah seharian berkutat dengan pelajaran. Tapi Darel masih meminta untuk tetap berlatih dengan sebuah tanggung jawab.
Lagi pula, bila sudah menjalankan sesuatu berlandaskan hobi, semua pasti akan terasa lebih mudah. Terlebih dia dan timnya memiliki satu tujuan yang sama, yaitu menjadi pemain basket terkenal. Jadi keberadaan mereka di sini bukan semata-mata sebagai perwakilan sekolah di setiap pertandingan, tetapi juga terselip harapan dari mimpi yang sudah mereka rangkai sejak lama.
"Rel, gue denger-denger lawan kita sekarang nggak main-main. Mereka terbiasa main kasar. Lo nggak punya strategi buat ngalahin mereka?" Haris menatap Darel yang menyandar. Melepas pandangan ke teman-temannya sudah lebih dulu turun di lapangan.
"Main sehat. Kalau dari awal lo nyiapin strategi buat curang, lo nggak akan bisa menang. Lagi pula tahu dari mana mereka suka main kasar? Kalau nggak terbukti, jatuhnya fitnah, loh."
"Denger dari temen gue di sekolah itu. Dia bilang kalau tim basket sekolah mereka memang terkenal main keras. Jadi hati-hati aja. Gue jatuhnya parno, Rel. Bukan takut kalahnya, tapi takut anak-anak cidera."
Darel terdiam sejenak. Sebelum akhirnya beranjak. "Kita pikirin stategi bareng anak-anak," ucapnya.
Haris ikut bangkit. Dia mengenal Darel sejak di bangku sekolah dasar. Dia juga paling tahu bagaimana kualitas Darel dalam bidang ini, serta bagaimana mimpi-mimpinya yang masih dia perjuangkan hingga kini. Itu sebabnya Haris selalu yakin dengan tim mereka, selama Darel masih menjadi kaptennya.
Tiga puluh menit berlalu setelah mereka menyusun strategi lalu memulai latihan, tiba-tiba Darel meminta izin untuk beristirahat. Ada rasa nyeri yang kini menjalar dipergelangan kakinya. Rasa sakit yang faimiliar, namun tetap tak bisa dia tahan saat sakit itu melemahkan sendi-sendinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Novela JuvenilPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...