•Lembar ke Dua Puluh Empat•
"Sel kanker yang berkembang pada kaki Darel sudah menyebar hingga saraf dan pembuluh darah. Sel kanker ini memang menyebar cukup cepat, sehingga kemoterapi saja tidak cukup untuk menghambat pertumbuhan sel tersebut. Kita harus segera melakukan pembedahan amputasi agar kanker ini tidak menyebar pada organ lain yang lebih luas. Walau setelah prosedur ini, Darel harus tetap melakukan kemoterapi lanjutan agar kanker tersebut benar-benar bersih."
Haris masih berada di sisi Darel. Kondisi anak itu memburuk sejak semalam. Bahkan Darel tak tidur semalaman hanya karena menahan sakit. Ia juga sama. Tak tidur hanya karena kata-kata Dokter Juan yang menyatakan bahwa kemoterapi yang sudah Darel jalani tidak mampu melemahkan sel kanker di kakinya.
Kini jalan yang harus ditempuh adalah amputasi, agar sel kanker tak menyebar ke organ penting lainnya. Tapi keputusan itu tentu tak disetuji Darel. Anak itu menolak keras untuk dilakukan pembedahan. Darel masih yakin bahwa ia bisa sembuh dan bermain basket lagi. Namun hasil dari kemoterapi terakhir yang Darel jalani, menunjukkan bahwa sel kanker di kakinya menyebar terlalu cepat. Sehingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi untuk membuat Darel bertahan.
Bagi Haris, tidak ada yang mudah dalam menentukan keputusan ini. Satu sisi, ia ingin Darel selamat. Tapi di sisi lain, ia harus rela melihat Darel hancur karena mimpinya. Bila mereka menyetujui untuk dilakukan operasi, itu artinya Darel tak akan bisa kembali bermain basket lagi. Tidak akan bisa meneruskan mimpi yang sempat ia tunda. Bila benar terjadi, Darel akan benar-benar kehilangan mimpi terbesarnya.
"Haris ..." Suara Darel membuat Haris kembali tersadar dari lamunannya.
"Iya. Kenapa? Mau apa?"
Darel menggeleng. "Buna mana?"
"Lagi di ruangan Dokter Juan sama Ayah. Mau gue panggilin?"
Darel kembali menggeleng. Meraih tangan Haris yang sejak tadi menggengam tangannya. "Gue takut."
"Takut apa? Kan, ada gue di sini. Nggak ada yang ganggu lo. Tenang aja."
"Ris, gue nggak mau diamputasi. Gue masih mau main basket. Gue masih mau jadi anak normal. Gue mohon bilang ke Dokter Juan kalau gue nggak mau."
Haris mengeratkan genggamannya. "Ini buat kesembuhan lo, Rel. Mau sembuh, kan?"
"Nggak! Gue nggak mau sembuh kalau akhirnya gue cacat! Gue nggak mau sembuh kalau akhirnya kaki gue nggak utuh lagi, Ris. Gue nggak mau."
Darel hancur. Sejak ia mendengar bahwa jalan yang harus dipilih adalah pembedahan, ia rasa dunianya benar-benar akan berakhir. Rasanya Darel tak pantas hidup bila pada akhirnya ia kehilangan kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...