•Lembar Ke Enam•
"Lo yakin nggak perlu gue anter ke dalem?" Haris menatap Darel yang sudah bersiap akan turun.
"Nggak usah, gue masih bisa jalan."
"Telepon gue kalau perlu dijemput. Sampai kamar langsung istirahat, jangan ngelakuin hal lain lagi. Nggak ada gue lihat Darel pingsan lagi."
"Gue bukan anak kecil yang harus selalu lo ingetin!" ucap Darel lalu keluar dari mobil Haris.
Sebenarnya Haris ragu melepas Darel untuk pulang sendiri. Bagaimanapun Darel sedang tidak baik-baik saja. Dia takut kondisi anak itu akan kembali drop bila bertemu sengan Adrian. Hanya saja dia juga tidak bisa memaksa untuk membawa Darel ke rumahnya bila anak itu memang tidak mau.
Klakson mobil Haris hanya Darel balas dengan anggukan, sebelum berlalu. Ia harap tak akan bertemu Adrian ataupun Tristan di dalam. Tubuhnya sudah terlalu lelah hari ini. Jadi dia tidak ingin semua menjadi semakin kacau bila harus berhadapan dengan Adrian.
Namun nasib buruk sepertinya masih membayangi Darel. Tepat saat kakinya menyentuh lantai ruang tengah, suara Adrian kembali terdengar. Laki-laki itu sedang fokus dengan laptop saat Darel datang.
"Mana piala kemenangan kamu?"
Pertanyaan Adrian membuat Darel membeku. Mengapa dari sekian pertandingan yang ia ikuti, ini menjadi yang tersulit?
"Mana prestasi yang mau kamu tunjukkan ke Papa? Itu, kaki kamu yang sakit karena bermain basket? Itu yang mau kamu tunjukkan?" Adrian menunjuk kaki Darel yang membuatnya berjalan agak pincang.
"Makasih pujiannya, Pa. Seharusnya aku ada di depan Papa aja, itu udah jadi satu prestasi yang Papa syukuri," ucap Darel. Ingin sekali dia mengatakan bahwa tadi ia sempat pingsan. Bahwa kini kondisi tubuhnya sedang tidak baik.
Tapi Darel cukup tahu diri. Hadirnya di sini hanya sebuah formalitas. Hanya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa Adrian Wibisana memiliki anak bungsu bernama Darel. Kehadirannya bukan untuk mengeluh, apalagi bercerita. Karena akan pecuma, tidak akan ada dekap hangat yang membuatnya merasa lebih baik.
Namun setelahnya tawa Adrian membuat kening Darel mengerut. Apa ada yang lucu?
"Darel ... Darel. Kamu ada di depan Papa itu satu kewajiban. Karena kamu masih anak Papa. Tapi kalau kamu muncul di depan Papa tanpa ada prestasi yang kamu tunjukkan, untuk apa? Mana omongan kamu yang bilang kalau mimpi kamu setinggi langit? Pertandingan antar sekolah saja kalah."
Tangan Darel mengepal. Namun sebisa mungkin ia menahan amarahnya. Apa yang Adrian katakan benar. Mimpinya terlalu tinggi. Tapi menjadi juara pertandingan antar sekolah saja dia tidak mampu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...