•Lembar ke Dua Belas•
Darel belum sepenuhnya paham mengapa sakit itu benar-benar membuatnya seperti orang tak waras semalam. Lalu pagi ini, dia merasa tubuhnya jauh lebih baik. Ia bisa bangkit dan menggerakan kakinya. Walau sakit itu masih terasa, namun setidaknya Darel mampu membawanya untuk berjalan.
Setelah ini, Darel memang harus benar-benar siap akan hasil pemeriksaan yang harus ia terima nanti. Terlebih rasa sakit yang tak wajar itu sering menganggunya. Juga kakinya yang masih bengkak padahal ia sudah melepas aktivitas bermain basket.
"Loh, udah bangun? Haris mana?" Luki yang sedang santai di meja makan menoleh pada Darel yang menuruni tangga secara perlahan. Senyum anak itu membuat Luki ikut tersenyum. Padahal semalam ia menyaksikan sendiri bagaimana Darel kesakitan.
"Baru selesai mandi, Yah. Mau sekolah. Darel udah izin buat nggak sekolah hari ini." Darel menarik kursi di hadapan Luki.
"Iya. Istirahat dulu aja, ya. Jangan terlalu banyak pikiran, jangan terlalu capek. Darel fokus dulu sama pemeriksaan. Ayah perlu kabari papa kamu?"
Darel menggeleng. Ia rasa akan percuma bila Adrian tahu semua. Terlebih itu bisa menjadi senjata Adrian untuk balik menjatuhkannya. Ia tahu seharusnya Adrian menjadi orang pertama yang berada di sisinya saat menghadapi semua ini. Orang yang seharusnya bisa menjadi penyemangat terbesar saat Darel hampir menyerah.
Namun untuk saat ini, meminta Adrian untuk berada di sisinya dan meyakinkan semua baik-baik saja, belum menjadi pilihan hidup Darel. Sekalipun nanti Haris dan keluarganya tak lagi peduli, ia sudah siap untuk menjalani semua ini sendiri.
"Jangan, Yah. Darel beum siap kalau papa tahu. Sebenarnya ... hari ini Darel mau nyari mama, Yah."
Luki yang semula membagi fokus dengan koran di hadapannya, kini mengalihkan fokus sepenuhnya pada Darel. Ia tak yakin bahwa pertemuan Darel dengan Yunda akan membuahkan hasil yang baik untuk anak itu. Terlebih Luki tahu bagaimana kehidupan Yunda saat ini.
"Darel kenapa mau ketemu mama?" tanya Luki.
"Dokter minta untuk ngajak orang tua waktu ambil hasil MRI nanti. Darel nggak mungkin minta papa dateng."
"Tapi, kan, ada Ayah. Ada Buna. Darel kan anak Ayah sama Buna juga."
Darel tersenyum. "Tapi Darel masih punya orang tua, Yah. Walaupun sekarang Darel masih belum bisa jadi anak yang baik buat mereka, setidaknya mereka masih punya tanggung jawab penuh untuk hidup Darel. Boleh, ya, Yah? Kali ini aja, biar mereka juga bertanggung jawab untuk hidup anaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...