•Lembar Ke Tiga•
Langit sore masih tak merubah kenyataan bahwa kini Darel kembali menyembunyikan rasa sakit yang sudah menyerangnya sejak semalam. Bahkan sejak pagi ia tak fokus menerima pelajaran karena rasa sakit di pergelangan kakinya.
Sebenarnya Darel tak ingin memberitahu Haris. Ia tahu anak itu pasti akan marah karena Darel menyembunyikan semua. Apalagi berulang kali Haris mengatakan untuk memeriksakan ke dokter, tapi selalu ia tolak. Tapi Darel tahu, sepintar apapun ia menyembunyikannya, Haris selalu lebih pintar untuk mengetahui itu.
"Minum dulu," Haris menyodorkan botol air mineral yang diterima dengan baik oleh Darel. "Masih sakit?"
Darel mengangguk. "Sedikit. Jangan bilang anak-anak kalau kaki gue sakit."
"Mau sampai kapan lo nyembunyiin ini semua?"
"Maksud lo?"
Haris berbalik, menatap Darel yang selalu membuatnya menghela napas. Sejak dulu Darel tak pernah berubah. Selalu mampu membuat orang percaya bahwa dirinya baik-baik saja. Padahal kenyataanya, anak itu hanya sedang berusaha menutupi luka tak kasat mata di dirinya.
"Mau sampai kapan lo menganggap semua ini bukan masalah? Kaki lo sakit pasti ada penyebabnya, Rel."
"Iya, penyebabnya satu. Gue kecapean, udah. Lo tahu, kan, kaki gue pernah cidera. Kalau sekarang kaki gue sakit, iya mungkin bekas cidera gue yang berontak karena gue terlalu maksa latihan, kan?"
"Dan lo nggak mau nyari tahu kenapa bekas cidera di kaki lo sakit lagi?"
Darel menggeleng. "Apa pentingnya, Ris? Selama gue masih bisa bangun. Masih bisa jalan. Gue rasa nggak ada yang harus gue tahu. Gue yakin sakit kayak gini bukan cuman gue yang ngerasain."
Haris kembali menghela napas, sebelum bangkit. "Tunggu gue bener-bener muak sama semua alasan lo. Gue yang akan seret lo ke rumah sakit!" ucap Haris lalu berlari menuju lapangan. Bergabung dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu di sana.
Bila saja dia hanya menganggap Darel sebatas teman biasa, ia juga tidak akan terlalu peduli apa yang terjadi dengan anak itu. Namun kini semuanya berbeda. Saat anak itu hadir dalam hidupnya, Haris seakan menemukan keluarga baru. Seorang saudara yang ingin dia jaga.
Menjadi anak tunggal membuat Haris kadang memimpikan memiliki seorang adik. Dan dia menemukan sosok itu pada Darel. Walau terkadang, dia kembali bersyukur bahwa anak itu diciptakan hanya sebagai sahabat, bukan saudaranya. Karena bagaimanapun, Haris juga lelah menghadapi sikap keras kepala Darel.
"Darel kenapa nggak ikut latihan?" Dendi mendekat pada Haris seusai pemanasan.
"Lagi nggak enak badan, semalam dia begadang. Biasa ada masalah di rumah."
"Kalau sakit mending diminta pulang, deh. Besok kan udah pertandingan, takutnya dia drop."
Haris tersenyum. "Bisa lo nyuruh dia pulang? Kalau bisa, gue traktir lo makan sebulan," ucapnya lalu berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...