21 | Sebuah Keyakinan

1K 231 116
                                    

•Lembar ke Dua Puluh Satu•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Lembar ke Dua Puluh Satu•

"Ris, rambut gue rontok banget." Darel menatap Haris yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah beberapa kali menjalani kemoterapi, ia merasa rambutnya semakin hari semakin menipis.

Haris meletakkan handuknya, lalu berjalan mendekat pada Darel yang kini diam di depan cermin. Ternyata benar, efek kemoterapi sekuat itu.

"Iya nggak apa-apa, kan habis kemo. Nanti juga tumbuh lagi. Makanya sekarang ke mana-mana topinya dipakai. Kalau pakai hodie, topinya juga dipakai."

"Kalau nanti gue botak gimana?" Darel merengut. Dulu ia bisa menjadi idola sekolah dengan wajah tampan dan tubuh gagahnya. Namun kanker merubah semua begitu cepat. Bahkan kini, ia mulai tak menyukai wajah dan bentuk tubuhnya.

Sebelumnya Haris sempat berpikir bila perubahan fisik yang Darel alami akan membuat anak itu tak percaya diri. Namun ia tak bisa mengelak bahwa kenyataannya, hal itu memang harus terjadi. Tidak ada yang mampu menepis efek keras dari kemoterapi. Terlebih kini tubuh Darel semakin kurus. Napsu makannya menurun, dan kulitnya tak sesegar dulu. Lalu Darel menyadari bahwa rambutnya semakin rontok.

"Iya nggak gimana-gimana, Rel. Kan, lumayan adem," Haris tersenyum. Meraih hodie yang Darel simpan di lemari lalu memberikan pada anak itu. "Nggak usah takut. Kalau lo malu botak sendiri, gue temenin. Lagi pula udah lama gue mau nyoba hal beda. Kayaknya botak seru."

Darel terkekeh. Lalu meraih hodie yang Haris berikan. "Jangan dong. Penampilan lo kayak gini aja masih jomblo, apalagi kalau nanti botak."

"Beda itu, Rel. Jomblo itu bukan takdir, tapi pilihah. Memang belum ada aja cewek yang buat gue terpesona dan bikin pengen langsung halalin. Udah sekarang lo turun duluan ketemu Buna. Gue ganti baju bentar, setelah itu kita langsung berangkat."

Darel mengangguk, lalu membawa langkahnya pergi.

Saat punggung Darel tak lagi terlihat, dan pintu kamar kembali tertutup rapat. Senyum Haris memudar. Darel akan kehilangan satu persatu yang dulu ia miliki. Haris tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Darel setelah ini. Walau dia masih menyimpan harapan begitu besar agar anak itu bisa kembali seperti dulu. Menjadi Darel yang selalu membuatnya kagum sekaligus iri. Kondisinya sekarang benar-benar tak adil untuk anak sebaik dan setulus Darel.

Hari ini mereka kembali ke rumah sakit untuk menjalani jadwal kemoterapi berikutnya. Beruntung Darel tak lagi setakut sebelumnya. Anak itu sudah mulai terbiasa dengan pengobatan ini. Walau efeknya masih jelas terasa. Namun tak semenyakitkan saat pertama kali.

"Darel, setelah kemo nanti, Buna mau bertemu Dokter Juan sebentar, ya. Nggak apa-apa, kan, kalau Darel menunggu dulu?" Citra menatap Darel di sisinya.

"Nggak apa-apa, Buna. Kan, udah sama Haris," sahutnya.

Citra mengangguk. Mereka masih menunggu tenaga medis memersiapkan tindakan. Entah mengapa, setiap akan menjalani kemoterapi, Citra tidak pernah tenang. Ia tahu bahwa, bukan tidak mungkin bila kondisi Darel tiba-tiba memburuk saat dilakukan pengobatan. Citra takut bila ia akan kehilangan Darel saat anak itu sedang berjuang.

Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang