13 | Cinta Yang Berbeda

957 214 65
                                    

•Lembar ke Tiga Belas•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Lembar ke Tiga Belas•

Suasana hening yang tercipta diantara Darel dan Yunda belum juga melebur bahkan saat Satria sudah meninggalkan rumah. Hanya melempar senyum padanya sebelum berlalu. Darel tak mengerti apa definisi bahagia bagi Yunda, bila sikap Satria saja penuh pengekangan seperti ini.

Namun kini ia tahu, mengapa Yunda sekeras itu menolaknya. Alasan pertama karena Adrian yang akan menghancurkan rumah tangganya, dan alasan kedua karena Satria yang bisa membuat rumah tangganya hancur bila salah bertindak.

Darel menghela napas, lalu kembali mengarahkan pandangan pada Yunda. Sepertinya memang tak ada yang perlu diperpanjang lagi di tempat ini. Ia seharusnya tahu bahwa Yunda tak akan mau berurusan lagi dengan masa lalunya.

"Ya udah, Darel pamit ya, Ma. Darel minta doanya supaya hasil MRI nanti nggak menunjukkan penyakit serius. Lain kali kita bisa ketemu di luar, kan, Ma? Darel tahu Om Satria nggak suka Darel ke sini. Nggak masalah, sih. Wajar aja, Darel yang harusnya tahu diri. Salam buat Om Satria sama anak-anak Mama, ya." Darel bangkit. Bahkan kakinya yang sakit tak mampu mengalahkan rasa sakit hatinya. Ia terlampau kecewa. Ternyata hubungan ibu dan anak bisa terputus begitu saja dengan jalan perceraian.

Namun saat langkah Darel baru akan menuruni tangga, suara Yunda kembali membuatnya terhenti. Wanita itu akhirnya berbicara setelah sekian lama terdiam.

"Mama mau," ucap Yunda pelan. Sontak membuat Darel menoleh.

"Mau? Mau nemenin Darel?"

Yunda bangkit, lalu mengangguk. "Iya. Mama temani kamu. Tapi, Mama nggak bisa fokus sama semua pemeriksaan kamu nanti. Mama juga orang tua yang harus menjaga anaknya. Jadi, Mama hanya bisa temani kamu bertemu dengan dokter."

Darel tersenyum. "Iya, nggak apa-apa. Asal Mama temenin Darel ketemu Dokter Juan, itu sudah lebih dari cukup."

"Iya Mana temani. Kapan?"

"Dua minggu lagi, Ma. Nanti pasti Darel kabari. Tapi, Darel boleh minta nomor telepon Mama?"

Yunda mengangguk. "Sini biar Mama simpan nomor Mama di kontak kamu. Tapi Darel, Mama minta tolong jangan hubungi Mama saat pagi dan malam hari. Bisa, kan? Hubungi saat Om Satria tidak ada di rumah."

"Iya, Darel paham, Ma. Sekali kagi makasih, ya. Sampai ketemu nanti. Darel pamit."

Tidak ada yang mudah saat hubungan ibu dan anak dibuat dengan pemisah. Tidak ada yang mudah saat rindu dibatasi. Namun Darel tak memiliki hak untuk membantah, apalagi menentang. Mendapat kesempatan ini saja sudah lebih dari cukup.

"Darel ..." Suara Yunda kembali membuat Darel berbalik. "Mama pasti doain kamu."

Ada senyum yang seketika terbentuk di sudut bibir Darel. Ia tak meminta hubungan yang terlalu dekat layaknya mereka dulu. Ia tak meminta Yunda menjadi penguat di saat raganya rapuh. Mendengar Yunda akan menyebut namanya dalam doa saja, Darel sudah sangat bahagia. Setidaknya hingga nanti batas hidupnya, ia masih memiliki seorang ibu yang rela mendoakannya. Menitip dirinya pada Tuhan walau dalam bentang jarak yang jauh.

Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang