•Lembar Ke Dua•
Satu hal yang tak pernah Darel suka dari rumah, yaitu kekangan. Sejak dulu, ia tak pernah menemukan nyaman seperti layaknya definisi rumah bagi orang-orang. Darel hampir tak menemukan bahagia saat raganya ada di bangunan megah tersebut.
Hampir setiap hari Darel harus mendengar Adrian membicarakan bisnis di hadapannya. Hampir setiap hari juga Darel mendengar Adrian yang selalu membanggakan Tristan. Seakan kakaknya memang terlahir tanpa celah. Sedangkan dirinya selalu salah.
Bila saja ia tak mengingat bahwa di rumah ini dia hanya seorang anak yang mengandalkan kehidupan dari papanya, mungkin Darel akan memberontak lebih dari ini. Tapi beruntung Darel masih menggunakan perasaannya untuk menghadapi orang yang lebih tua darinya.
Mungkin juga bila dia memiliki sosok seorang ibu di kehidupannya, semua tidak akan sesulit ini. Hanya saja takdir memaksanya untuk tumbuh tanpa bimbingan dari wanita itu. Walau semesta tak pernah benar-benar memisahkan mereka, tapi semesta memang tak mengizinkan mereka untuk bersama layaknya ibu dan anak.
"Tristan, besok Papa akan bertemu dengan teman Papa. Pemilik salah satu brand besar di Indonesia. Besok kamu akan tahu. Jadi persiapkan diri kamu, ya. Kamu harus sudah lebih banyak mengenal mereka sebelum terjun langsung nanti."
Suara Adrian menggema di tengah hening yang tercipta di meja makan. Secara tidak langsung juga menyindir Darel yang sejak tadi hanya membisu dan fokus dengan sarapan di hadapannya. Namun apa yang Adrian katakan seketika mengusik ketenangan yang sejak awal Darel pertahankan.
"Papa tenang aja, aku pasti siap bertemu mereka. Dan seperti biasa, aku nggak akan mengecewakan Papa," sahut Tristan.
"Itu yang Papa suka dari kamu. Kamu selalu bisa Papa andalkan. Ingat, Papa masih berharap kamu menjadi lulusan terbaik di kampus kamu nanti."
Tristan tesenyum. Menggangguk pasti, walau ujung matanya melirik Darel yang terlihat kesal di sana.
"Aku jamin aku bisa menjadi satu dari sekian lulusan terbaik di sana. Jadi Papa nggak usah khawatir untuk itu. Papa percaya aku, kan?"
"Papa nggak pernah ragu sama kamu. Apalagi mendengar rekan bisnis Papa yang sering memuji kamu. Papa rasanya tidak sabar menyerahkan satu perusahaan Papa sama kamu," ucap Adrian yang dibalas senyum angkuh oleh Tristan.
Sebenarnya sejak tadi Darel mencoba untuk abai. Namun semakin lama rasanya semakin memuakkan. Dia tidak masalah bila Adrian memuji Tristan. Tapi apa harus di hadapannya? Seakan Darel hanya pajangan yang tak memiliki perasaan.
Lalu suara Adrian kembali mengalihkan pandangan Darel.
"Darel, Papa masih berharap kamu memerbaiki nilai kamu di sekolah. Lalu lanjutkan pendidikanmu seperti Tristan. Tinggalkan basket, dan semua kegiatan tidak penting itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...