•Lembar ke Sebelas•
"Ris. Besok gue pergi sendiri aja. Lo, kan, sekolah." Darel yang baru saja keluar dari kamar mandi, menghampiri Haris yang sibuk dengan tugas di meja belajar.
Besok adalah jadwal Darel melakukan MRI. Sebelumnya Darel sudah mencari tahu terlebih dahulu mengenai prosedur MRI dan tahapannya. Sejak awal Darel tahu bahwa prosedur yang harus ia jalani tidak akan pernah mudah.
"Lo berani sendiri? Gue tunggu di luar aja lo takut, kan?" Haris tak menoleh. Masih sibuk menyalin tugas.
Darel menghela napas. Lalu berjalan pelan menuju ranjang. Iya, dia sepenakut itu untuk pergi sendiri. Tapi dia cukup sadar diri untuk tak selalu menyusahkan Haris. Anak itu tak seharusnya menanggung semua lelah hanya karena alasan dirinya. Dia masih memiliki Adrian dan Tristan yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas sakitnya kini. Namun Darel harus menerima bahwa dua laki-laki itu bahkan tak pernah peduli pada hidupnya.
"Gue udah nyelesaiin tugas. Besok tinggal setor. Gue juga udah izin ke wali kelas buat kita berdua. Jadi lo tenang aja."
"Gue sendiri nggak apa-apa, Ris."
Haris meletakkan pulpennya. Berbalik menatap Darel yang masih duduk di ranjang. Bagaimana ia bisa membiarkan Darel pergi sendiri? Bisa-bisa anak itu tidak akan kembali ke rumahnya lagi bila dibiarkan pergi tanpa pengawasan.
"Gue udah janji bakal temenin lo sampai semua tahapan pemeriksaan lo selesai."
"Lo nggak harus penuhin semua janji lo, kok. Gue nggak apa-apa kalau pergi sendiri. Lagi pula, ini bukan tanggung jawab lo, Ris. Lo masih punya tanggung jawab yang harus lo selesaiin, dibanding mikirin gue."
Tatapan redup Darel berhasil meremas hati Haris. Ia tak pernah merasa keberatan atas apa yang dia lakukan untuk Darel. Hanya saja ia tahu, bahwa saat ini Darel hanya ingin keluarganya ada di sini. Bertangggung jawab atas segalanga.
"Kemarin lo minta gue ngakuin lo sebagai adik gue. Sekarang lo bilang gue nggak perlu bertanggung jawab untuk semua ini. Apa lo main-main sama permintaan lo?"
Darel tersenyum. Ia selalu dihargai sebesar itu di rumah ini. "Lo nggak capek ngurusin gue?"
"Lo pernah denger gue ngeluh?"
Darel menggeleng pelan.
"Itu artinya nggak ada yang buat gue bener-bener capek, Rel. Ayolah, mana Darel yang gue kenal dulu? Semangat dong. Lo percaya, kan, orang hebat ujiannya selalu lebih besar," ucap Haris lalu bangkit. Mengambil tempat di sisi Darel. "Anak baik, anak manis, jangan sedih lagi, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...