•Lembar ke Dua Puluh Tiga•
Darel masih memerhatikan Haris yang sejak pulang sekolah tadi hanya duduk bersandar di sebelah ranjangnya. Fokus pada ponsel yang sejak awal membuat raut wajah anak itu berkerut. Namun beberapa kali Darel bertanya, ucapannya selalu diabaikan. Mungkin Haris perlu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Namun ini sudah lewat setengah jam Haris tak berucap apapun. Pandangannya masih pada layar ponsel. Masih membalas pesan yang masuk tanpa jeda. Sesekali menghembuskan napas kasar, namun tak juga menghentikan pergerakan jari-jarinya di atas layar.
"Ada masalah ya, Ris?" tanya Darel. Tapi sekali lagi, ucapannya diabaikan.
Darel berusaha bangkit. Ia tak bisa menjangkau Haris dalam posisi tidur. "HARIS GIORDANA, TEMEN LO NA—"
"Eh, ngapain?" Haris segera bangkit saat mendapati tiang infus Darel hampir terjatuh karena anak itu bangun dengan bertumpu pada benda tersebut.
"Elu ngapain! Gue ngomong dikira nggak pakai tenaga? Gue panggilin nggak nyaut. Gue tanya baik-baik nggak dipeduliin. Kenapa, sih? Kalau ada masalah bilang!"
Haris meletakkan ponselnya yang masih terus bergetar. Membantu Darel bersandar dan membenahi selang infusnya. Ia tahu sejak tadi ia terlalu fokus pada ponsel. Ia hanya ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya agar ia bisa menemani Darel.
"Nggak, nggak ada apa-apa. Sori. Lo mau apa? Mau buah? Mau makan?"
"Ris, bilang sama gue, ada masalah?"
"Nggak, Rel. Cuman ..." Haris terdiam melihat tatapan tajam Darel. Sepertinya memang tak ada masalah yang bisa ia pendam sendiri. "Iya udah, gue cerita. Nggak penting, sih. Cuman lo tahu gue nggak bisa handle ini sendiri," kata Haris. Lalu menarik kursinya.
"Pak Surya bilang dua hari lagi tim kita diundang untuk bertanding di peresmian gedung olahraga kota. Nggak semua sekolah dapat kesempatan ini, dan kita salah satu yang beruntung. Pak Surya minta gue maju sebagai kapten gantiin lo."
"Loh, bagus dong. Kok lo pusing?"
"Rel, gue nggak akan maju gantiin lo, itu satu. Dua, gue nggak akan ikut pertandingan selama lo masih tahap pengobatan. Tiga, tim kita nggak sekuat dulu untuk bertanding di depan orang penting."
Darel menggeleng. "Nggak! Lo nggak bisa jadiin ini alasan lo mundur, Ris. Lo berhak buat semuanya. Lo berhak gantiin gue dan bawa tim kita untuk bertanding pertama kalinya tanpa gue. Gue pernah bilang, kan? Kalian itu hebat, walaupun tanpa gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...