•Lembar Ke Lima Belas•
"Saya masih berharap ini tumor, jadi kita bisa melakukan tindakan lebih cepat untuk mencegahnya menjadi kanker. Tapi bila hasil biopsy nanti menunjukkan pertumbuhan sel yang ganas, itu artinya Darel menderita osteosarcoma, atau yang biasa kita sebut kanker tulang."
"Katanya kemungkinan kanker, Ris," ucap Darel pelan. Kembali mengingat apa yang Dokter Juan katakan. Berusaha melupakan sejenak Yunda dan kehidupannya yang hanya menambah luka untuk Darel.
Haris yang fokus di balik kemudi akhir menoleh sejenak. Menatap Darel yang sejak tadi mengarahkan pandangan ke luar. Ia tidak menyangka bahwa apa yang sempat ia dan Ikmal temukan di internet akan benar terjadi.
"Baru kemungkinan, kan?" Haris mengusap pelan pundak Darel. Lalu kembali fokus menyetir. Berusaha menekan getar suara agar tak ketara bagaimana ketakutannya.
"Kalau nggak kanker, berarti tumor. Tapi dari rasa sakit yang gue rasain, kemungkinan besar ngarah ke kanker. Karena intensitas sakitnya selalu bertambah, dan itu perubahannya cepet banget, Ris. Lo lihat kaki gue, bentuknya udah nggak banget." Darel beralih. Menatap Haris. "Gue nggak akan bisa main basket lagi," ucapnya.
Kini, bukan hanya Adrian yang menghancurkan mimpi Darel. Tapi juga dirinya sendiri. Takdir memaksanya untuk menyerah sebelum ia mampu membuktikan semua. Mengapa rasanya tidak adil? Apa tidak cukup hanya Adrian yang menjadi penghalang terbesarnya?
"Lo nyerah?"
Kali ini Darel mengangguk. "Nggak ada alasan buat gue terus lanjut. Sedangkan kondisi gue udah nggak memungkinkan, Ris."
Haris terdiam. Padahal ada informasi bahagia yang ingin ia sampaikan. Tapi melihat Darel menyerah seperti ini, rasanya tak ada lagi hal mengembirakan yang bisa disampaikan. Ketakutan yang akhirnya terjadi. Saat seorang Darel yang begitu optimis dan ambisius, akhirnya mengatakan bahwa dia tak lagi sanggup.
"Jangan nyerah, Rel. Lo punya banyak alasan buat lanjut."
"Apa, Ris? Papa? Mama? Mereka bahkan nggak pernah peduli sama hidup gue. Mereka nggak peduli sama semua mimpi dan masa depan gue. Terus buat apa? Buat apa semua mimpi yang gue bangun, tapi berujung nggak bisa gue gapai? Semua nggak adil! Nggak ada satupun yang bisa gue wujudin. Bahkan waktu sehat dulu, gue gagal. Apalagi sekarang! Kenapa Tuhan nggak adil sama gue?!" ucap Darel dengan getar suara menyakitkan.
Haris menginjak rem secara tiba-tiba. Membuat guncangan kecil saat mobil terhenti. Ia tahu ada luka yang selama ini Darel simpan. Lalu pandangannya beralih pada Darel yang kini bersandar dengan napas cepat. Meredam emosi yang tiba-tiba ia lontarkan.
"Lo nggak boleh ngomong gitu! Berapa kali gue bilang, ada gue, ada Buna, ada Ayah yang peduli sama lo! Lo ngga perlu nyerah. Lo cuman perlu berhenti, dan kita bisa lanjut lagi nanti. Kesempatan lo masih ada, Rel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Kisahkan Luka Bahagia (Terbit)
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! (Terbit di Stora Media) Bertanding di NBA dan menjadi pemain basket terkenal masih menjadi mimpi yang Darel kejar hingga kini meski tanpa dukungan dari Adrian-papanya. Bahkan, Adrian memberi tantangan untuk menghambat mimpi Darel...