CHAPTER 18

703 92 4
                                    

Naruto menelpon Sai dan mengatakan bahwa ia membutuhkan sebuah pesawat jet.

"Ada jenis khusus?" tanya Sai, seolah ia sedang diminta untuk mengeluarkan pesawat jet begitu saja setiap hari.

"Yang biasa," ujar Naruto, menunjuk pada pesawat jet pribadi milik Tsunade.

"Mau pergi jalan-jalan?" tanya Sai lagi.

"Yeah."

"Cuma satu pertanyaan ... dan ini untuk memuaskan rekan-rekanmu. Kenapa kau butuh pesawat?"

"Untuk perjalanan singkat," ujar Naruto dengan gaya seacuh mungkin. "Kakak Hinata ada di rumah sakit. Aku akan mengantarnya ke sana di antara jadwal konser."

"Hinata?" tanya Sai lambat.

"Ya, Hinata." Naruto mengulangi dengan dahi berkerut.

"Kau menerbangkan Hinata dan pacarnya ke kampung halamannya?"

Naruto bergerak dengan gelisah di kursinya. "Hanya Hinata," Naruto mengakui.

Naruto mendengar sesuatu yang terdengar seperti suara orang terkekeh di seberang sana sebelum Sai berkata, "oke, ini hanya tebakanku saja ... kau menerbangkan Hinata ke kampung halamannya, di mana kau akan bertemu dengan ibu dan ayahnya untuk menghabiskan waktu dua hari bersama. Apa itu benar?"

"Apa maksudmu, Sai?" tanya Naruto jengkel.

"Hanya bertanya, apa kalian sudah menentukan tanggalnya?" Sai tertawa pada leluconnya sendiri.

Naruto menghela napas. "Kalau kau sudah selesai menggangguku, bisakah kau kirimkan aku pesawat?"

"Tentu saja bisa," Sai mendengus, dan untunglah segera mengganti pembicaraannya ke hal-hal logistik untuk mencarikan Naruto pesawat.

***

Pesawat itu menunggu mereka di sebuah landasan di Kobe, 62 km dari pusat kota Kyoto tempat konser sebelumnya. Pukul satu dini hari, Sara dan Kiba— yang menurut perkiraan Naruto baru saja berpacaran— mengantar mereka ke sana.

Setelah Hinata masuk ke pesawat dan mengantar Kiba kembali menuju mobilnya. Naruto segera menutup lalu mengunci pintu kabin, bersiap untuk lepas landas. "Semuanya baik-baik saja?" tanyanya pada Hinata.

"Ya," jawab Hinata sambil menatap ke sekeliling kabin. "Aku akan tidur sebentar kalau kau tidak keberatan."

"Tentu, kita akan pergi dalam waktu 15 menit. Pasang sabukmu!" Naruto memperingatkan Hinata sambil berjalan menuju kokpit. Tapi Hinata sudah menyandarkan tubuhnya, matanya terpejam. Wanita itu terlihat sangat lelah, pikir Naruto.

Naruto menutup pintu kokpit di belakangnya lalu mulai bekerja. Setengah jam kemudian, setelah mencapai ketinggian yang aman sebuah sentuhan di bahunya hampir membuat ia meloncat kaget. Ia mengerutkan dahi melihat Hinata tertawa geli.

"Kau hampir salah menekan tombol."

"Orang biasanya akan mengetuk terlebih dahulu," ujar Naruto sambil memperhatikan panel instrumen di depannya.

"Aku tadi mengetuk, tapi kau sibuk dengan tombol-tombol itu." Hinata melongok dari bahu Naruto untuk melihat keluar jendela, sejumput rambut indigo jatuh dari bahunya dan menggelitik pipi Naruto. "Wow, gelap sekali di luar sana."

Ya, memang gelap sekali, karena itulah Naruto harusnya memperhatikan panel instrumen dan bukan lekukan payudara Hinata. "Kukira kau mau tidur."

LIMERENCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang