CHAPTER 19

742 87 4
                                    

Mereka tiba di bandara Haneda pukul tiga dini hari, dan berkat kemampuan Sara melobi beberapa orang, sebuah mobil sport sudah menunggu mereka. Dari sana, tanpa ada kemacetan, perjalanan memakan waktu 1 jam menuju Kamakura, yang terletak di antara lautan dan pegunungan dengan iklim sejuk.

Kamakura— tempat Hinata tumbuh besar bersama orang tuanya yang sudah sepuluh tahun lalu bercerai tapi masih meributkan semua hal—adalah ibu kota kuno Prefektur Kanagawa yang dikelilingi alam asri juga dipenuhi kuil. Ada lebih dari 100 kuil yang menunjukkan kilasan masa lalu era keshogunan.

Ada dua rumah yang saling berhadapan di atas bukit, menghadap langsung ke kota. Dan itulah rumah kedua orang tua Hinata yang sudah bercerai. Ayahnya masih memiliki bengkel dengan dua ruangan, meski jarang sekali terpakai karena beliau lebih suka menghabisakan waktu di rumah besar yang Hinata bangun untuknya.

Di seberang kota, di bukit yang satunya, berdiri rumah ibu Hinata, sebuah rumah bergaya tradisional Jepang.

Ketika mobil mereka melaju ke Kamakura, Hinata merasa mual memikirkan Naruto akan bertemu seluruh anggota keluarganya sekaligus. Bila sendiri-sendiri mereka tidak begitu parah. Tapi sekaligus? Rasanya seperti perkumpulan para mafia.

Mereka tiba di kota pukul 5 pagi, keadaan masih sunyi senyap. 2 lampu berwarna kuning di jalan utama berkedap-kedip, satu-satunya mobil yang berpapasan dengan mereka adalah mobil polisi—yang menetap mereka curiga. Sebuah mobil sport di kota ini hanya berarti 2 hal: berandalan dan balap liar.

Hinata mengarahkan Naruto ke pinggiran kota, ke sebuah rumah sakit. Naruto memakirkan mobilnya di tempat parkir kosong dan luas. Rasa takut mulai menyerang Hinata. Memang tidak pernah ada sambutan hangat, tapi kali ini benar-benar membuatnya khawatir. Ia sudah berusaha menghubungi ibunya beberapa kali kemarin. Sebelum konser semalam dimulai tapi tidak ada jawaban.

Naruto tersenyum menenangkan. "Jangan sedih, Cantik! Seseorang pasti akan menelepon jika memang keadaannya semakin buruk."

Sangat aneh, pikir Hinata. Naruto bisa membaca pikirannya dengan baik meskipun mereka baru saling mengenal.

Saat mereka berjalan melewati pintu rumah sakit, aroma antiseptik langsung menyerang. Tidak ada seorang pun kecuali wanita gemuk setengah baya yang duduk di belakang meja.

Wanita itu mendongak sambil tersenyum ramah ketika Hinata mendekat. "Ada yang bisa saya bantu?"

Sebelum Hinata menjawab, seorang perawat lain muncul entah dari mana lalu memekik. "Ya Tuhan. Ya Tuhan!"

Naruto langsung melangkah ke depan Hinata, seolah ia akan diserang oleh seseorang.

Perempuan itu keluar dari area berbentuk setengah lingkaran di belakang meja penerima tamu lalu melempar setumpuk kertas medis ke atas konter. "Kau Hyuga Hinata!"

"Ya ampun Rin!" seru wanita setengah baya tadi sambil membetulkan kacamatanya yang disenggol Rin. Ia menggeser tubuhnya ke samping dan berdiri dari kursinya. "Bisa kami bantu, Nona?" tanyanya lagi.

"Boleh aku minta tangan tanganmu?" tanya Rin.

"Ah ... ya, tentu saja," ujar Hinata sambil melihat ke sekitar mencari selembar kertas. Rin meyorongkan  sebuah folder pada Hinata. "Apa kau yakin?" Hinata menunjuk dokumen medis yang diserahkan Rin.

Wanita yang lebih tua tadi mengambil dokumen medis itu lalu memberikan sebuah notes pada Hinata. Hinata melempar senyum terima kasih kemudian segera menandatangai notes itu.

Rin merebut notes itu lalu menatap Hinata dengan mata terbelalak. "Ya Tuhan," ujarnya lagi, memutar tubuhnya, lalu segera mengambil telepon.

"Nah! Bisa kami bantu?" tanya wanita itu lagi.

LIMERENCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang