CHAPTER 23 (WARNING! SCENE 18+)

2.5K 125 5
                                    

Bukan Neji yang menelepon, tapi Toneri.

"Di mana kau?" tanya Toneri. "Aku mencoba menghubungimu seharian."

"Benarkah?" Hinata menoleh ke belakang saat Naruto masuk. "Kurasa tidak ada telepon masuk."

"Ibumu bilang kau sudah pulang."

Kepala Hinata mulai berputar-putar akibat anggur yang diminumnya, juga semua perasaan bersalah yang menyerangnya. "Oh, ya. Iya, aku bilang begitu," ujarnya sambil memegangi pelipisnya. "Aku bilang begitu agar bisa keluar dari sana."

"Lalu kau di mana?" tanya Toneri, suaranya penuh kecurigaan.

"Di rumah ayahku," jawab Hinata, memalingkan wajahnya dari tatapan Naruto.

Toneri diam sejenak. "Kau di rumah Hiashi?" tanyanya, suaranya tidak securiga tadi.

"Yap. Dengan pacar barunya yang umurnya lebih muda dariku."

"Ya ampun,"ujar Toneri. "Jadi di mana si Lelaki Perkasa?"

"Ahh ..." Hinata memejamkan matanya. "A-aku tidak tahu. Dia ada di suatu tempat, tapi akau tidak tahu."

Jawaban itu sepertinya membuat Toneri puas.

"Aku perlu bicara denganmu," ujar meneruskan, tanpa bertanya tentang Neji, Hanabi, atau Hinata sendiri. "Aku sudah setuju untuk menambah beberapa jadwal tur ...."

"Apa?" Hinata langsung membuka matanya.

"Hinata, dengar! Lagumu sudah berada di nomor 1 selama sebulan. Albummu terjual 1 juta copy. Setiap konser tiket terjual habis, manajer bisnis, manajer bakat, dan aku juga, berpikir jika kami pantas mengeluarkan biaya untuk menambah beberapa malam ekstra ke jadwal tur kita."

"Tapi aku harus mulai rekaman di studio 2 bulan lagi dan baru 2 lagu yang kutulis. Aku butuh waktu untuk menulis lagu, Toneri."

"Kita akan cari waktu. Tapi sekarang ini, kurasa inilah yang harus kita lakukan."

"Aku tidak setuju!"

"Hinata tidak usah berdebat tentang hal ini sekarang, oke?" ujar Toneri tegas. "Apa kau pikir mudah mengurus keadaan di sini sementara kau pergi mengurus Neji? Aku hanya berharap seandainya kau mau membiarkanku mengurus karier kita seperti yang kita sepakati tanpa harus menyulitkanku setiap kali aku membuat keputusan."

"Jadi aku tidak punya hak untuk mengutarakan pendapatku?"

"Astaga," Toneri mengerang. "Minumlah koktail yang banyak dengan keluargamu lalu kita akan bicara lagi saat kau sudah pulang." Kemudian ia menutup telepon.

Toneri menutup teleponnya. Hinata melongo. Ia berdiri membeku sesaat, memandangi karpet yang mulai pudar.

"Ada yang tidak beres?" tanya Naruto.

Semuanya tidak beres. Hidup Hinata tidak beres.

"Aku cuma ..." Ia cuma apa? Ia cuma menginginkan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa dinamakan. Hinata memutar tubuhnya lalu menatap Naruto, kemudian melempar teleponnya ke sofa.

Naruto bersandar di bar, satu siku menopang tubuhnya. Ia menatap telepon lalu Hinata. "Kau cuma apa?" tanyanya.

Hinata menggigit bibirnya. "Toneri menambah beberapa jadwal tur," ujarnya pelan. "Dia tidak bertanya padaku lebih dulu, dia langsung memutuskannya."

"Batalkan saja kalau kau tidak mau," ujar Naruto.

"Tidak bisa!"

"Kenapa tidak?"

Karena Hinata sudah menyerahkan seluruh hidupnya pada Toneri, hingga ia tidak tahu bagaimana caranya membatalkan jadwal tur, tidak tahu apa akibatnya bahkan siapa yang harus dihubungi. Ia merasa putus asa. "Karena ... karena aku benar-benar tidak tahu apa pun sekarang, aku cuma tahu kalau aku ingin ..." Sial, air matanya merebak lagi.

LIMERENCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang